Rock 'N Roll

Rock 'N Roll

Senin, 16 Juni 2008


Burungku


“Kemarilah nak!”. Tutur seorang ibu pada anak permpuannya yang tengah bermain.

Dan tanpa membantah si anak itupun segera menghampiri ibunya yang tengah menghitung uang recehan berbungkus plastik lusuh.

Perempuan tua itu adalah seseorang yang sudah bertahun – tahun menetap di kolong jembatan merah itu. Ia tinggal di rumah triplek bekas berukuran empat kali lima meter yang menempel pada dinding talud jembatan. Ia tinggal hanya berdua dengan anaknya yang masih berusia kurang lebih Sembilan tahunan. Sehari – harinya ia bekerja sebagai penjual kardus bekas yang ia kumpulkan dari pasar - pasar. Tidak banyak penghasilan yang ia dapatkan dari pekerjaannya itu. Terkadang seharian dia bekerja hanya cukup untuk membeli dua bungkus nasi. Namun baginya hidup dengan berupaya, lebih terhormat ketimbang harus meminta – minta apalagi mengambil hak yang bukan miliknya. Terlebih ia merasa lebih bersyukur meskipun setitik nikmat yang diberikanNYA. Bukan untuk berhura – hura apalagi dipamer – pamerkan.

“Lihatlah kedua ekor burung itu!”. Tunjuk sang ibu kepada anaknya kearah dua ekor burung yang sedang sibuk menyusun rangkaian rumah barunya di tepi sungai.

“Mana bu?”. Tanya si anak yang nampaknya masih belum mengetahui.

Dan tanpa mengulangi perkataannya, sang ibu itu kemudian menggendong anaknya dan membawanya ke tempat yang lebih tersembunyi dari pandangan burung itu.

Setelah ibu itu mendapatkan tempat yang lebih leluasa untuk mengamati tingkah laku burung itu, kemudia ia menunjukkan tangannya bermaksud menuntun penglihatan anak tersayangnya.

“Iiih..lucu sekali ya bu…!”. Ucap anaknya riang.

Namun sang ibu itu hanya diam saja seperti membiarkan anaknya terus mengamati burung itu.

“Bu, burung itu sedang bikin rumah ya!?”. Tanya si anak setelah mengetahui kedua burung itu yang terus pulang pergi dengan membawa rumput kering ke sebuah dahan.

Sekali lagi si ibu itu hanya terdiam. Kali ini ia hanya memberikan ciuman kecil di pipi anaknya yang polos.

“Nak…”. Kata ibu itu tiba – tiba.

Kontan anaknya yang masih dalam pangkuannya itu menoleh cepat kearah wajah ibunya yang tampak anggun tersapu angin siang.

“Kamu tahu tidak, kenapa burung itu bersusah payah membawa rumput kering dari seberang sungai ke dahan pohon kecil itu?”. Tanya ibunya disertai senyum yang begitu lembut.

“Tau!!”. Jawab anaknya.

“kenapa?”. Tanya ibunya lagi manja.

“karena burung itu mau bikin rumah yang bagus..”. Jawab anaknya

“Pintar..!!” Puji ibunya dengan ciuman lembut di pipi anaknya.

“Trus kenapa bikin rumahnya di atas pohon?, kan kalau dia tidur di rerumputan juga bisa!?. Tidak repot – repot bikin rumah.”. Tanya ibunya lagi.

“Iya ya bu..!”. Ucap anaknya mengiyakan.

“Burung itu sama seperti ibu. Dia bersusah payah hanya untuk sebuah tujuan”.

Kata ibunya.

“Sama juga dengan ibu tukang warung, sama juga dengan bapak ojek seberang jalan, sama juga dengan bapak guru yang setiap pagi melewati jembatan ini. Mereka semua bersusah payah mencari nafkah setiap hari dengan kemampuan ilmunya masing – masing. Seperti juga burung itu yang bersusah payah terbang kian kemari dengan menggunakan sayapnya. Seekor burung dengan sayap kecil tidak akan mampu terbang lebih jauh dan lebih tinggi. Sedangkan burung yang lebih besar akan melakukannya dengan mudah. Tapi kamu juga harus ingat, semakin burung itu terbang ke atas, maka anginnya akan semakin kuat”. Kata

ibunya lagi menambahkan.

“Kamu tahu tidak, apa yang menjadi tujuan burung itu bersusah payah terbang ke setiap tempat?”. Tanya ibunya melanjutkan.

“Tidak tahu..!”. Jawab anaknya polos.

“Karena…burung itu punya cita – cita ingin mendapatkan kenyamanan. Nyaman memiliki tempat tinggal yang aman dan membahagiakan. Nyaman dengan segala makanan untuk bertahan hidup. Sama seperti setiap orang dengan cita – citanya msing – masing”. Tutur ibunya.

“Lalu kamu tahu tidak, apakah burung – burung itu akan berhenti terbang setelah perutnya kenyang dan tertidur lelap didalam rumahnya yang bagus itu?”. Tanya

ibunya lagi.

“Burung itu akan bermain dengan teman – temannya bu”. Ucap anaknaya.

“Dan juga, burung itu akan merasa lelah lagi, lapar lagi dan berkeinginan untuk terbang lagi mencari sesuatu yang lain. Mungkin juga untuk membuat rumah baru lagi yang lebih cantik untuk anggauta keluarganya yang baru. Selalu begitu dan terus begitu sampai akhirnya si burung itu meninggal”. Tutur ibunya sambil

melihat anak tersayangnya yang terus menatap dirinya.

Sesekali ibu itu menciumi pipi anaknya lagi dengan perasaan yang lembut.

“Ketahuilah nak, suatu saatnya nanti kamu juga akan mencari cita – citamu dan berharap sukses sama seperti orang – orang. Dan kamu jangan sampai terjebak. Karena apa yang dikatakan oleh orang – orang tentang kesuksesan itu sebenarnya tidak ada”.

“Seperti burung itu yang terus berkeinginan setelah keinginannya tercapai. Dan sama dengan orang – orang yang akan tetap memiliki rencana lain dan cita – cita baru setelah dirinya meraih cita – cita dan sukses. Jadi dimana letak kesuksesan itu?,

Ibu itu sejenak terdiam. Matanya yang sayu terlihat lurus menatap bibir

- bibir sungai. Lalu iapun melanjutkan kata – katanya lagi.

“Sukses itu seharusnya menjadi akhir yang sempurna, menjadi puncak yang paling tinggi dan sakral. Dan cita – cita seharusnya terus berlanjut tidak terhenti pada kehidupan yang cuma beberapa tahun saja. Cita – cita harus sampai pada kesuksesan yang lebih abadi, nyaman, aman, dan tidak bisa diganggu gugat oleh apapun. Dan di dalamnya tidak akan ada rencana lain selain tentram dalam keabadiannya”.

“dan yang sering disebut – sebut sebagai kesuksesan oleh setiap orang itu sebenarnya hanyalah media, perangkat, sarana, atau merupakan alat bantu yang bisa memudahkan orang itu mencapai kesuksesan yang sejati dan abadi tersebut. dan kesuksesan seperti itu hanya bisa didapatkan setelah kita menghadap tuhan”.

“jadi..pelajarilah ilmu sebanyak – banyakanya sehingga kamu akan memiliki sayap yang lebih lebar dan bisa terbang jauh tinggi seperti burung besar itu. Dan sekali lagi jangan sampai terjebak. Berbuatlah dalam hidup ini hanya untuk beramal dan beribadah. Landasi semuanya dengan mata hati. Karena hal itu yang akan memudahkanmu mendapat kesuksesan yang sebenarnya. Cita – citakan dirimu menjadi orang yang selamat di dunia dan di akhirat. Jangan pernah mau kehidupanmu dimanipulasi oleh nafsu yang sering membutakan. Jangan pernah silau pada orang yang memiliki ilmu, tapi silaulah pada orang yang mengamalkan ilmu”.

Setelah ibunya menyudahi kata – katanya, gadis kecil yang mungil itu tampak semakin menenggelamkan wajahnya ke dalam pelukan ibunya. Kedua tangan kecilnya terus saja berkalung di leher ibunya sambil terpejam. Sesekali salah satu tangannya mengelus – elus pipi ibunya dengan sayang. Dan elusan itu dibalas oleh ibunya dengan belaian – belaian lembut pada rambutnya yang kering.

Sesaat keduanya tidak ada yang berkata – kata lagi. Angin siang yang semilir di kolong jembatan itu terasa bergerak halus seolah terbawa suasana seorang ibu yang tengah duduk memangku dan memeluk anaknya di pinggir bibir sungai.

“Bu, setelah dzuhur nanti, aku boleh ikut bermain di Madrasah kampung seberang ya bu!”. Pinta anaknya tiba – tiba.

Dan hanya dengan seulas senyuman dari ibunya, anak perempuannya yang masih kecil itu terlihat gembira seakan mengerti bahwa senyuman ibuanya itu merupakan restu yang ia harapkan.

“Terimakasih ya bu, aku ingin bermain dan melihat teman – teman belajar di madrasah”. Kata anaknya riang.

“Iya, tapi kamu harus janji, jangan sampai mengganggu belajar mereka ya!”. Pesan ibunya.

“Aku janji bu!”. Jawab anaknya bersemangat.

Tak henti – hentinya anak itu menciumi pipi ibunya dengan sayang.

“Memangnya apa yang mereka pelajari nak?” Tanya ibu itu sambil terus membelai rambut anaknya.

“Mereka belajar membaca tulisan arab, terus gurunya juga suka bercerita tentang nabi yunus yang dimakan ikan paus, teruss…, pokoknya banyak deh bu..!” Kata

anaknya menjelaskan.

“Kamu tidak dimarahi sama gurunya ikut belajar sama mereka?” Tanya ibunya

lembut.

“Tidak bu, kan aku cuma mengintip dari luar. Jadi aku tidak ketahuan…”. Ucap anaknya polos.

“Ya sudah…nanti sebelum kesana, kamu makan dulu ya!. Masih ada nasi bungkus yang ibu beli tadi”. Kat ibunya.

“Iya, tapi ibu juga ikut makan..!” Rengek anaknya manja.

“Iya, iya…, ini anak, sudah besar juga!” Jawab ibunya gemas sambil memberi cubitan kecil pada hidung anaknya yang manja itu.


***


“brak, bruk!!”.

Suara itu terdengar dari jatuhan tumpukan kardus yang dihempaskan oleh tangan mungil milik gadis kecil itu.

Tampak gadis kecil itu seperti sedang memilih – milih sesuatu diantara tumpukan kardus bekas yang telah dikumpulkan ibunya.

Setelah mendapatkan yang ia cari, kemudian iapun menghampiri ibunya yang tengah membersihkan beberapa lembar kardus yang ia dapatkan dari pencariannya tadi pagi.

“Bu, aku pergi dulu ya bu!”. Pamit anak itu pada ibunya.

Setelah mencium tangan ibunya dengan salam. Anak itu lalu berlari – lari kecil melompati jalan setapak dengan tangan kanannya yang memegang sebuah buku bekas yang ia temukan dalam tumpukan kardus tadi. Dan ia terus berlari meninggalkan ibunya. Ia bergerak menaiki tanggul memperlihatkan punggung mungilnya yang kian menjauh.

Tanpa ada yang terucap, ibu yang masih duduk di antara kardus – kardus bekas itu hanya mampu menatapi anak tersayangnya dengan lelehan air mata yang mengalir perlahan.

Ada ribuan doa dan harapan yang terbungkus rapi dalam sanubarinya. Tidak ada seribu kekuatan yang akan melenyapkan kasih sayang itu.

Karena engkaulah anakku yang menjadi cita – cita hidupku. Terbanglah dan terus terbang…semakin rentangkan sayapmu dan jangan takut. Karena sesungguhnya yang paling menakutkan adalah ketakutanmu sendiri. Jadilah seperti yang kamu inginkan, dan jadikan keinginanmu kelak sebagai media yang menghantarkanmu pada cita – cita dan kesuksesan yang abadi.

Amin…..!



Adhe

16-06-08 Yogyakarta.



Rabu, 11 Juni 2008

I am nothing here

my lovely sister

my lovely sister

....semua yang kita cintai adalah beban.
....semua yang kita sayangi kelak akan ditinggalkan atau akan meninggalkan.
....dan hanya dua hal yang akan selalu menjaganya terus tersenyum manis.
....merawatnya...dan berusaha untuk selalu memberi salam.
..
.karena kita tidak pernah tahu sampai kapan kita mendapat kepercayaan untuk bisa merawat dan memberinya salam. karena pula saat kita mengetahui, saat itu pula kita bertanggung jawab atas semua yang kita dapatkan dari rasa yang suci....dariNYA.

Wacana

Aku jadi teringat ucapan seorang tukang becak pada temannya disuatu ketika.

Wong urip kih ora ono sing gratis mas!” katanya waktu itu.

Dan semua memang harus dibeli. Begitupun dalam ikhwal hidup. Tenaga, fikiran, rasa, kesadaran dan segala kemampuan yang dibekali dalam setiap diri manusia adalah mata uangnya. Mata uang yang berwujud kemampuan untuk mengetahui yang benar, Mata uang yang berwujud kemampuan untuk berbuat yang seharusnya. Mata uang untuk bisa membayar semua yang telah diberikan.

Dan semua konteks memiliki singkronisasi tersendiri.

Akankah seorang Aborigin akan membeli roti dipertokoan meksiko dengan menggunakan mata uang rupiah? Ataukah wajar apabila segolongan arsitek membicarakan peradangan usus buntu dalam pembahasan suatu proyeknya?.

Dan pertentangan – pertentangan seperti itu hanyalah pemborosan tenaga dan waktu yang membuat tujuan semula kita menjadi mubadzir. Nikmati saja kalau semua orang akan menertawakan dan menghina kita. Karena esensi dari tertawaan dan hinaan itu sendiri merupakan cerminan dari konstruks kasih sayang pada kita yang sedang salah dan sedang bermasalah.



Adhe

insprated by the real experience

@2006














Sepatu


“Huu..uu..uu….”

Suara tangisan itu aku dengar lamat – lamat dari luar kamar. Jam setengah sepuluh siang aku masih setengah sadar dalam tidurku. Semakin lama suara tangisan tadi semakin jelas dan membuat tidurku tidak lagi nyaman.

“huu..uu..uu….”

Ya ampuun..kuat sekali anak itu. Batinku jengkel sambil berusaha bangkit dari tidurku.

Seketika aku jadi sadar dan mulai penasaran. Dengan cepat akupun meninggalkan tempat tidurku mendekati jendela kamar yang masih tertutup gorden warna kelabu. Lalu aku menyingkap gorden jendelaku untuk melihat keluar. Aku lihati di luar sana tmpaknya si bayu anak pak jiwo sedang menangis di teras rumah kontrakannya. Dia menangis dengan posisi duduk menghadap kamar kostku.

“hm….pantes suara tangisnya bening banget” batinku kala itu.

Setelah memastikan, aku kembali mendekati bantalku yang sudah nampak seperti globe.

Hari ini aku tidak berangkat kerja. Mungkin karena sudah dua hari ini aku kerja penuh dan tidak tidur. Apalagi kemarin malam aku sempat kehujanan waktu melembur di terminal. Imbasnya sekarang badanku seperti sedang digendongi kuntilanak. Pegal, panas, dan merinding terus.

“sudah toh lek, jangan nangis terus. Nanti kalo bapakmu ada rezeki dibelikan yang baru.”

Suara itu aku dengar dari luar kamar. Nampaknya ibu si bayu sedang berusaha menghibur anakanya yang belum juga berhenti menangis.

Untuk beberapa saat aku masih berusaha untuk meneruskan kemalasanku. Tapi semakin dicoba kedua mataku sepertinya semakin protes. Akhirnya akupun menyerah dan bangkit untuk mengambil handukku yang tergantung di balik pintu kayu. Setelah mengambil handukku, akupun mengganti jeans belelku dengan sarung bermotif kotak – kotak yang sangat teratur menyerupai kawat nyamuk. Tak begitu lama lalu akupun membuka pintu kamar kostku untuk pergi ke kamar mandi.

“nggak pergi kerja mas?” Tanya ibu si bayu bermaksud menegur aku.

“nggak bu, males.” Jawabku seenaknya.

“loh…koq males?, bagaimana mau dapat istri kalau begitu?” ledek ibu si bayu sambil terus mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Dan aku hanya bisa tertawa mendengar ledekan ibu itu. Memang dia paling pinter bikin orang semangat. Dasar ibu –ibu, di mana – mana selalu saja halus dan baik.

Pada saat aku berjalan menuju kamar mandi yang memang melewati depan rumah kontrakan ibu itu, tiba – tiba pak jiwo suaminya muncul dari gang sebelah.

“sudah pulang pak?” sapaku pada pak jiwo.

“iya nih, si bayu ada - ada saja.” jawabnya ringan.

“lho, memangnya kenapa dengan si bayu?” tanyaku tak mengerti.

Lalu sambil duduk di sebelah anaknya iapun mulai bercerita.

“si bayu nangis- nangis minta dibelikan sepatu baru.” Jelasnya dengan wajah kusut.

“memangnya kenapa dengan sepatumu yu?” tanyaku bermaksud pada bayu yang masih terisak.

Tapi anak itu samasekali tidak menjawab. Dia tampak sibuk menghabiskan sisa tangisnya.

“itu loh mas, tadi pagi waktu bayu mau berangkat sekolah, sepatunya yang sebelah kanan hilang, nggak tahu lupa ditaruh dimana, atau mungkin di bawa sama tikus”. Tanpa ada yang menyuruh tiba – tiba istri pak jiwo yang sedang membersihkan kaca depan rumahnya itu berusaha menjawab pertanyaanku.

“memangnya tidak ada sepatu lain bu?.” Tanyaku pada ibu itu.

“ada, cuman ya bayu nggak mau pakai karena sebelah kanannya juga sudah jebol.” Jelasnya lagi.

“terus si bayu nggak jadi berangkat sekolah dong!?” tebakku sambil memperhatikan bayu yang masih mengenakan seragam lengkapnya.

“berangkat, cuman pulang lagi sambil nangis – nangis.” Jawab ibunya.

“kok nangis – nangis, memangnya kenapa?”. Tanyaku menyelidik.

“itu, karena dia merasa malu diejek dan ditertawakan sama taeman – temannya”.

tambahnya lagi.

“diejek?”.Tanyaku lagi makin heran.

“iya, gara – garanya tadi pagi bapaknya bilang begini. Sudahlah yu, sementara kamu pakai sepatu yang kiri semua, nanti…”. Perkataan ibu itu tiba – tiba terhenti waktu suaminya cepat memotong.

“Alaaah…perempuan di mana – mana memang sukanya nambah – nambahin!”. bela pak jiwo.

“memang kenyataannya seperti itu kok!”. bantah istrinya tak mau kalah.

“iya, tapi maksud aku kan baik. Aku bilang sama bayu Cuma seperti ini. Yu, hari ini kamu ada ujian. Jadi daripada kamu nggak dapat nilai dan nantinya dihukum, lebih baik kamu untuk sementara pakai sepatu yang sebelah kiri semua dulu. Nanti mudah – mudahan besok kalau ada rezeki bapak belikan sepatu yang sebelah kanan semua, jadi kedua pasang sepatu itu nanti bisa terpakai lagi. Bener kan mas!?”. Kata pak jiwo dengan muka jengkel seolah minta dukungan aku.

“iya pak..”. jawabku asal sambil menahan tawa.

“lagipula siapa yang mau jual sepatu yang sebelah kanan semua?, kalopun ada ya nanti bayu bakal repot juga waktu ikut paskibra. Teman – temannya menghitung, kiri..kanan…kiri…kanan.., bayu malah menghitungnya kiri melulu toh mas!?”.tandas istrinya sambil memandang kearahku.

“iya juga bu..”. jawabku makin geli.

Dan yang membuat aku tambah geli, sementara bapak ibunya saling ngotot,

anaknya malah bengong saja sambil ngupil.

Lalu sambil tertawa kecil, istri pak jiwopun masuk kedalam dan berkata.

“anak sama bapak sama saja..!”.

“iya, ibunya juga..!”.timpal pak jiwo kesal.

Pak jiwo seorang sopir taksi yang kadang nyeleneh. Dan istrinyapun kalau bicara kadang – kadang kurang teratur. Makanya bukan hal aneh jika hari ini keduanya bertengkar cuma karena hal kecil. Pertengkaran itupun menurut aku terkesan menjadi novelty untuk sebuah keluarga yang sederhana. Karena justru dari kekonyolan – kekonyolan seperti itu keeratan batin mereka semakin terbangun.

Tak berapa lama pak jiwo yang telah menghabiskan hisapan rokoknya mulai bangkit sambil menggendong bayu anaknya.

“mas, aku masuk dulu”. Pamitnya.

“o iya pak, aku juga mau ke kamar mandi” Kataku.

Akhirnya pak jiwo dan anaknya si bayupun masuk ke dalam rumah. Sementara aku yang masih berselendang handuk meneruskan maksudku untuk ke kamar mandi.


***


Malam harinya seusai aku pulang kerja. Aku menemui pak jiwo yang sedang duduk sendiri di teras depan rumah kontrakannya. Seperti biasa, sambil menghembuskan asap rokok iapun menyapa aku yang tiba – tiba datang manghampirinya.

“baru pulang?” sapanya.

“iya pak”. Jawabku.

“sini duduk!”. Ajak Pak jiwo sambil menyodorkan kursi plastik warna hijau daun yang ada di sebelah kanannya.

“makasih pak” sahutku singkat.

Setelah aku mengambil posisi duduk sejajar dengannya, pak jiwo langsung berkata kepadaku.

“Aku kok heran ya.., kenapa semua orang menertawakan anakku?” ungkap pak jiwo tanpa menoleh ke arahku.

“padahal apa salah dia?” tambahnya lagi.

“kalaupun itu gara – gara anakku memakai sepatu kiri semua, aku fikir itu sah – sah saja. Lha wong kedua – duanya sama – sama sepatu toh mas!?” ungkapnya lagi. Kali ini dia menyerongkan mukanya ke arahku.

Dalam hati justru aku yang bertambah heran. Kenapa seorang pak jiwo sampai sejauh itu memikirkan permasalahan kecil. Toh kalau dia pergi ke tukang loak dan membeli sepatu bekas buat anaknya, saya yakin semuanya akan beres.

Tapi saat itu aku hanya diam saja tanpa menanggapi apa yang dipikirkan oleh pak jiwo. Aku hanya bisa melihati dia yang terus saja menatap kosong sambil kedua bahunya bersandar di dinding yang berwarna pudar. Sesekali aku perhatikan ia memainkan batang rokok kretek di sela – sela jarinya yang legam. Jari – jari yang menggambarkan kerja keras seorang perantau. Padahal usianya belum terlalu tua. Menurut pak jiwo dia menikahi istrinya saat berumur dua puluh empat tahun. Itupun kata istrinya pak jiwo masih punya hutang maskawin sampai sekarang. Dan sekarang usia perkawinannya sudah hampir tiga belas tahun. Hm…benar – benar keterlaluan.

Sesaat keadaan menjadi hening. Badanku mulai terasa capek. Aku samasekali tidak bersemangat untuk ngobrol lama – lama dengan pak jiwo. Hingga pada saatnya pak jiwo kembali menghadapi aku dan nampak mulai berkata – kata lagi.

“begini saja mas..,besok kita berangkat kerja pada jam yang sama. Dan sebelum memulai kerja masing – masing, sepatu kita bertukaran sebelah. Gimana?”.tutur

pak jiwo.

“maksudnya?” tanyaku tidak mengerti.

“ya saya memakai sepatu mas yang sebelah kiri. Dan mas yang memakai sepatu saya yang sebelah kanan. Jadi saya kerja dengan memakai sepatu sebelah kiri semua, dan mas yang kerja memakai sepatu sebelah kanan semua”.jelasnya.

“tungu…tunggu…tunggu.., kok masalahnya jadi rumit gini sih pak?” tanyaku

semakin tak mengerti.

“yang rumit itu otak mas, bukan masalahnya..” tegasnya.

“waduuuh…pak jiwo ini ada – ada aja..” sahutku melemah.

“jadi maksud saya, saya ingin tahu kenapa kok bisa – bisanya anakku itu ditertawakan banyak orang. Nah, aku pengen membuktikan. Lagipula Cuma sehari doang kok mas..” paparnya lugas.

Ya ampuun…Aku samasekali nggak bisa mikir.

Yaah…coba ya kalau waktu pulang tadi aku langsung masuk kamar. Mungkin aku nggak bakal ketemu dengan ide konyol kayak begini.

“Gimana mas?”. Tanya dia lagi.

“Iya deh atur aja…, emang ya sopir taksi jaman sekarang…”. sungutku tak bersemangat.

“nnaaah…gitu dong…baru namanya teman..” katanya dengan wajah sumringah.

“ayo..ayo..diminum kopinya..!” tawarnya padaku dengan riang.

Yaaah…lagian kopi yang mana?. Orang ada segelas doang. Mau kayak pengantin

baru gitu barengan sama dia!?. Hmm…mending juga tidur pak. Bisa ketemu sama artis.

“ayolah diminum..!” tawarnya lagi setelah melihat aku yang terus diam.

“iya makasih pak, aku mau pulang aja.” Tolakku halus.

“loh..kemana?” tanyanya.

“ngantuk”. Jawabku sambil berlalu.

“ya sudah..sampai besok ya..jangan lupa!”. Katanya lagi.

“iyaaaa..”. jawabku malas sambil masuk kamar.

***

Pagi harinya aku berangkat kerja berbarengan dengan pak jiwo tetangga kostku itu. Kami berjalan menyusuri jalan gang yang menuju jalan besar. Dan sepeti yang telah direncanakan pak jiwo tadi malam, sesampainya kami di ujung gang pak jiwo mengajak aku untuk berhenti sejenak di depan sebuah bengkel yang kebetulan pada jam itu masih tutup.

“ayo lepas sepatumu!”. Suruhnya.

“iya sabar..”. ucapku.

Setelah kami bertukaran sebelah dari sepatu kami masing – masing, kamipun

berpisah untuk menuju tempat kerja. Namun sebelum berpisah, kami berdua sempat memandangi sepatu kami masing – masing. Dan tanpa berkata – kata, tawa kamipun spontan meledak berbarengan. Hwa..ha..ha..ha..ha..!! ( Hm…benar – benar aneh! ).

Ada perasaa risih dan malu yang sangat luar biasa yang aku alami selama memakai sepatu sebelah kanan semua itu. Memang tidak semua orang yang dengan seksama memperhatikan sepasang sepatu yang aku kenakan. Namun bagi yang melihatnya sangat mustahil untuk bisa menahan ketawa atau sekedar berkomentar aneh. Apalagi waktu aku bertemu dengan rekan – rekan senasibku di tempat biasa kami mengambil barang dagangan sebelum berjualan.

“lek, kakimu kok kayak kepiting?” ucap ibu penjaga warung waktu itu.

“iya bu, kan lagi musim!”. Jawabku seenaknya.

“ha..ha…ha…sepatumu ketuker di musholla mana?” celetuk kawanku.

“tau nih, yang nukernya aja gak liat – liat”. Jawabku lagi.

Tidak habis – habisnya kawan – kawanku itu memberi komentar yang tentu saja bukan pujian. Tapi aku tanggapi dengan santai. Toh yang mereka tahu tentang aku memang aku dikenal suka asal dan seenaknya.

Waktu terus berlanjut. Aku kemudian berjualan seperti biasanya. Meski terkadang aku merasa risih dan malu dengan tanggapan orang – orang mengenai sepatuku. Tapi aku menutupi perasaan maluku itu dengan selalu berpura – pura tidak melihat mereka dan terkesan aku tidak menyadari apa yang sedang mereka perbincangkan dan mereka tertawakan.

Tak terasa hari sudah siang. Daganganku masih tinggal separuh lagi. Aku memutuskan untuk beristirahat di sebuah musholla kecil di area belakang halte pemberhentian bus kota. Sebenarnya tidak terlalu masalah dengan sepatuku yang berpasangan tidak selayaknya itu. Buktinya aku masih bisa berjualan tanpa ada yang terganggu atau mengganggu. Tapi aku juga berfikir. Aku seperti menyalahi kodrat dan aturan yang tidak bisa ditentang. Sepengetahuanku, belum ada suatu kaum atau golongan yang mempunyai tradisi mengenakan sepatu kiri semua atau kanan semua. Kalaupun ada paling – paling juga si gimbal pasar induk yang setiap harinya mengenakan aksesoris serba plastik bekas sayuran itu. Lha kuda saja belum tentu mau diberi sepatu kiri samua atau kanan semua. Apalagi manusia. Jadi kalau ada yang meledek, menghina atau mentertawakan aku bukan berarti mereka yang salah. Justru ledekan, hinaan dan tertawaan mereka itu sebenarnya nasihat dan teguran bahwa aku ini sedang salah dan sedang bermasalah.


***

“ lek..lek..bangun lek!”

Aku terperanjat kaget ketika ada orang yang menggoyang – goyangkan tubuhku. Setelah sadar, akupun bergegas bangkit dan mengambil barang daganganku yang aku letakkan di rak penitipan sepatu. Sepertinya pada waktu istirahat seusai sholat dzuhur tadi aku bablas ketiduran. Untunglah si takmir musholla itu membangunkan aku tepat waktu. Kalau tidak, mungkin aku bisa dijadikan sajadah buat orang – orang yang menunaikan sholat ashar nanti.

***

Tapatnya jam lima sore, aku merasa tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan pekerjaanku apalagi berniat lambur. Terakhir tumpangan, aku turun di pangkalan taksi tempat dimana pak jiwo biasa nongkrong. Niatnya ingin bertukar sepatu dan langsung pulang. Tapi sialnya pak jiwo sedang ada tarikan. Jadi terpaksa aku urung untuk bertukar sepatu. Dan bukan itu saja, teman – teman seprofesinya pak jiwo mentertawakan aku habis – habisan. Yah…aku maklum sih. Soalnya rata – rata semua sopir yang ada di pangkalan itu kenal baik dengan aku. Jadi wajar saja kalau mereka tidak canggung untuk meledek aku.

“ eh lek, mbok ya kamu itu masih muda, belum punya istri. Jadi nggak usah ikut – ikutan gendeng kayak si jiwo itu!”. Ledek salah satu dari rekan mereka.

“ aku nggak ikut – ikutan kok pak..!”. tegasku sambil terus mengunyah gorengan tempe yang aku ambil dari warung pangkalan itu.

“ lha itu, sepatumu..!”. Katanya sambil menunjuk – nunjuk sepatuku.

“ ya itu kan pak jiwonya saja yang ikut – ikutan aku.., gengsilah aku ikut – ikutan dia!”. balasku lagi.

“ hwa..ha..ha..ha..hah..ha..!!, ya itu namanya sama saja. Malah kamu yang lebih parah..!”. sambung temannya lagi sambil terbahak – bahak..

“ kok parah??, macam tubrukan opelet saja lah kauuu…!!” kataku menimpali dengan gaya bahasa batak. Karena memang yang terahir nyeletuk itu berasal dari medan.

Spontan pangkalan itu jadi bising dengan ocehan – ocehan yang dibarengi beraneka macam tertawaan para sopir taksi itu.

“ sudahlah bang, aku pulang dulu”. Pamitku sambil meminum es teh milik salah satu sopir itu.

“ pulanglah sana, bilang sama si jiwo itu supaya jangan ikut – ikutan lagi. Malas aku tengok dia setiap hari seperti itu. Hwa..ha..ha..ha..!!”. katanya sambil dibarengi tertawaan teman – temannya.

“ siiipp..!!”. jawabku sambil berlalu meninggalkan pangkalan taksi itu.


***


Usai setoran dan mengambil hasilnya, akupun berpamitan pada bos yang punya barang daganganku.

“ aku pulang dulu pak”. Pamitku.

“ o iya hati – hati !”. kata bapak itu membalas.

“ besok ganti loh lek sepatunya !” tambah istrinya penuh perhatian.

“ siipp..!!”. jawabku enteng.

Kali ini aku pulang tidak seperti biasanya. Aku tidak melewati arah dari jalan besar. Tapi kali ini aku berjalan kaki menyusuri jalan jalan kecil perumahan menuju kostanku.

Tidak tahu kenapa aku suntuk sekali hari ini. Mungkin karena aku yang belum benar – benar fit dari sakit, atau mungkin juga dikarenakan ide pak jiwo yang konyol itu. Tapi yang jelas saat ini aku sedang geram sekali sama pak jiwo yang tidak bisa aku temui di pangkalan tadi. Karena bisa saja nanti istrinya marah – marah sama pak jiwo lantaran tahu sepatunya bertukaran sebelah dengan aku. Mungkin kalau dia seusiaku dan belum punya keluarga, sudah aku pelintir kupingnya biar jadi dodol sekalian. Hm..mungkin ini kali ya yang disebut – sebut anggun c. sasmi!?. Tua – tua keledai!.

Tak terasa aku sudah sampai di gang petruk. Artinya tinggal satu belokan lagi aku masuk gang cakil dan sampailah aku di kostku. Tapi..istrinya pak jiwo sore – sore seperti ini biasanya lagi sinden gossip sama tetangga – tetangganya. Wah..simalakama juga.

Aku terus membatin sepanjang menuju kostanku. Dan dalam kebingungan seperti itu tiba – tiba aku kaget mau bertubrukan dengan seseorang yang datang dari arah gang sebelah.

“ Oupps..!!”. kagetku.

Hari ini benar – benar membuat aku naik darah. Ternyata orang yang mau tubrukan denganku itu adalah orang yang membuat aku jengkel seharian. PAK JIWO.

Aku berdiri mematung menahan geram. Dan aku lihat juga pak jiwo dengan wajah tak berdosanya hanya diam saja berdiri tak bergeser sama sekali dari hadapanku. Aku semakin bertambah jengkel. Namun entah kekuatan apa yang membauat mata kami saling memandang muka masing – masing. Dalam, lekat, penuh amarah, dan sedikit aneh. Karena kuperhatikan sudut bibir legam pak jiwo seperti perlahan – lahan tertarik kesamping. Dan pada saat yang tidak bisa dibendung lagi, saat itulah dengan spontan kami seperti ada yang memberi komando.

“hwa..ha..ha..ha..ha..!!hwa..ha..ha..ha..ha..!!”

Aku dan pak jiwo tertawa kencang bersamaan. Kami terus saja terbahak – bahak sambil memegang perut masing – masing. Kami tidak kuat menahan tawa. Untuk beberapa saat lamanya tawa kami tidak juga berhenti. Namun sesekali tawa kami itu surut dengan sendirinya. Aku dan pak jiwo tetap memegang perut sambil mengaduh – aduh menahan mules dan ngilu di punggung. tapi tidak begitu lama tawa itu meledak lagi dengan kekehan yang lebih kencang. Seperti ada ribuan pelawak saja yang menggelitiki kami. Sampai - sampai tidak sadar kalau tingkah laku kami sedang diperhatikan oleh beberapa orang kampung yang kebetulan melihatnya.

Tertawaan itu akhirnya membuat kami menyerah dan lelah. Sambil terus memegangi perut masing – masing, kami berduapun terduduk di tanah dan bersandar pada dinding pagar gang yang penuh coretan bomber.

“ memang…memang..” aku dengar suara pak jiwo terputus – putus oleh nafasnya yang tersengal – sengal.

Namun setelah berusaha menenangkan diri, aku lihat pak jiwo sepertinya mulai menyambung kata – katanya lagi.

“ memang mas, memang bener – bener konyol…!”. Katanya.

“ sudah tahu konyol masiiih saja ngotot bertukaran sepatu..!” kataku menimpli.

“ iya, kadang orang itu malas mengakui kebenaran yang sudah pasti”. Ucapnya.

“sudahlah aku mau pulang. Balikin sepatuku!”. Pintaku dengan nada sedikit jengkel.

Setelah kami saling bertukar sepatu. Kamipun langsung bangkit dan berjalan menuju tempat dimana kami tinggal.


***


Malam ini seperti biasanya. Aku sendirian di kamar sambil mendengarkan musik yang disuarakan dari gelombang radio lokal. Tidak banyak hal yang aku lakukan dalam kamarku. Aku hanya berusaha nyaman dengan duduk bersandar di atas kasurku sambil melihati gambar – gambar dari Koran bekas. Tapi entah kenapa tiba – tiba saja aku jadi teringat dengan kata – kata yang diucapkan pak jiwo tadi sore.

“kadang orang itu malas mengakui kebenaran yang sudah pasti”. ucapnya kala itu.

Kiri dan kanan. Tak ubahnya Laki – laki dan perempuan. Yang keduanya merupakan bentuk symbolic atas perbedaan yang tidak bisa dibantah namun tidak pula untuk dipisahkan apalagi ditukar.

Tidak ada kreatifitas yang bisa mengubah keadaannya menjadi lebih indah selain menjaga. menghargai dan mengakuinya sebagai kebijaksanaan dari sang maha bijaksana. Haruskah orang - orang yang memiliki ide konyol seperti pak jiwo lalu dikatakan sebagai seseorang yang lebih sempurna dibandingkan kebijaksanaan – kebijaksanaan yang telah ditetapkan olehNYA? Ataukah memang harus seperti itu agar kita dikatakan sebagai seseorang yang memiliki gaya hidup sendiri?.

Gaya hidup…!?

Gaya hidup macam apa lagi…?



Adhe

(Taken from my experience at ’04.)

11--06-08 Yogyakarta.







Selasa, 10 Juni 2008

Kecewa


Rasa kecewa itu bukan hadiah, bukan juga kutukan yang tidak bisa disembuhkan. Rasa kecewa itu merupakan sifat dasar yang ada pada setiap hati.

Rasa kecewa bisa diapresiasikan sebagai suatu penghormatan atas harapan – harapan yang sempat terbangun. Rasa kecewa adalah membenarkan kelemahan. Rasa kecewa adalah cambuk yang membangunkan ingatan kita bahwa kita bukanlah Fir’aun.

Rasa kecewa itu bukan sesuatu yang asing.

Akui saja dan berbenahlah…!

Biarkan kekecewaan – kekecewaan itu membentuk polanya sendiri. Karena sang Nabi Yunus pun pernah meninggalkan ummatnya. Seorang bayi yang polos akan merengek meminta air susu ibunya. Dan gigitan semut akan lebih tajam saat ketenangannya telah terusik.

Pejamkan kelelahan kita barang sejenak. Menangislah demi kebebasan. Karena sesungguhnya saat sedih merupakan saat refreshing bagi jiwa – jiwa yang kekar.

Dengarkan perkataan orang – orang yang pernah merasakan sebelumnya. Bahwa

Thomas Alfa Edison menderita gangguan pendengaran hanya untuk menikmati ribuan kekecewaannya. Ribuan pahlawan diasingkan dari kebebasannya. Pramoedya Ananta Toer pernah pula bertahun – tahun tidak bertemu dengan keluarganya dalam pembuangan. Prajurit – prajurit islam semuanya bermuka murung saat pulang sehabis perang badar. Dan semua orang yang menjadi besar adalah semua orang yang terus bertahan dan bangkit dari kekecewaannya.

Thomas Alfa Edison memberi penerangan pada dunia. Para pahlawan menjadi mata uang untuk kemakmuran suatu negri. Pramoedya Ananta Toer terus menulis dan mengguagah hati pembacanya. Syuhada – syuhada islam adalah tonggak yang menjadikan islam sebagai agama terbesar dalam peradabannya. Dan kita tidak seharusnya meninggalakan jalan yang sudah ribuan mil kita tempuh.

Lupakan apapun yang kita anggap telah meninggalakan. Karena sesungguhnya hanya Tuhan saja yang tidak akan pernah meninggalakan. Berdirilah diatas kayikanan. Karena kekecewaan itu sangat sakit namun juga tidak sedikitpun membunuh.

Bukankah kita pernah melihat awan!? .

Bukankah kita juga pernah basah oleh airnya!? .

Dan ingatkan diri kita bahwa tumpahan air dari langit akan selalu ditujukan pada bumi. Dan sadarkan kesombongan kita, bahwa meredanya air hujan tidak menghabiskan sisanya yang terkumpul di langit.



Seorang yang berfikir sukses tidak akan pernah mengingat berapa kali ia mendapat kekecewaan, tapi ia akan mengingat berapa kali ia sanggup brjalan dalam kekecewaan”.



Adhe.

Usai UAS’ 07-06- 2008





Say it flower”.


Say it flower”. Ungkapan itu sudah terlalu akrab bagi kita yang pernah mendengarnya. “katakan dengan bunga”, mungkin hal itu pula yang menjadi kebijaksanaan seorang manusia yang mengakui kelemahannya dalam berbahasa.

Ada milyaran ide dan gagasan yang belum kita dengar dan kita baca dari setiap fikiran manusia. Mungkin saja semua ide – ide dan gagasan – gagasan itu jauh lebih luar biasa ketimbang ide – ide dan gagasan - gagasan yang telah kita ketahui melalui perkataan, bentuk, maupun tulisan.

“Say it flower” merupakan kebijaksanaan untuk berbuat atas keterbatasan. Merupakan suatu wujud apresiasi, memanifesto yang tersimpan, dan gerak komunikasi yang paling efektif. Kreatifitas yang menyempurnakan kedirian manusia itu sendiri. Ialah suatu keunggulan manusia yang mengenal media untuk melakukan yang terbaik bagi sesamanya.

Umpama seorang pembeli datang ke sebuah toko swalayan. Ia bisa dengan leluasa memilih barang – barang yang ia kehendaki. Tanpa bertanya barangnya yang mana dan kwalitasnya seperti apa. Sedangkan si pelayan hanya diam menunggu si pembeli selesai memilih kemudian membayar. Hal ini sangat menakjubkan. Karena di dalamnya terdapat konteks komunikasi yang sinergis antara si pembeli dengan barang yang dicarinya. Barang itu berbicara, mengenalkan diri dengan berbagai data dan identitasnya masing – masing. Namun apa yang lebih hebat dari itu? Selain pemberian karya dalam bentuk nyata yang bisa difahami dan bermanfaat bagi orang lain. Bukan dalam besar dan kecilnya sebuah karya akan diskalakan. Tapi kemampuan untuk berbuat.

“Say it flower!” ,“say it form!”.

Dua bulan yang lalu aku sempat mengikuti pengamatan karaya arsitektur YB. Mangunwijaya di Wisma Salam dan Sendangsono Yogyakarta. Pengamatan itu aku lakukan bersama - sama dengan kawan – kawan SPA yang di bawah bimbingan dosen kami Ir. Priyo Pratikno. M.T.

Dari pengamatan karya itu aku dapat berkomunikasi dengan maksud – maksud dari penggagas. Dari pengamatan karya itu pula aku mendapat pengetahuan tentang banyak hal. Di dalam karya itu tersimpan suatu kekuatan yang luar biasa. Di dalam karya itu pula terdapat siratan pesan yang sangat bijaksana.

Kekhasan dari karya – karya YB. Mangunwijaya yang telah dilahirkannya yaitu terletak pada penggunaan bahan dan pengolahannya yang kretaif dan sarat filosofis. Beliau mampu menciptakan sesuatu yang mungkin saja bagi orang lain sudah tidak layak tapi bisa menjadi kekuatan nilai pada karyanya. Baginya menciptakan suatu karya yang indah tidak selalu pasif mengandalkan barang mahal dan pabrikasi. Justru dari suatu keterbatasan akan memunculkan ide – ide istimewa dan melahirkan suatu kreatifitas yang luar biasa.

Artinya, bentuk karya yang nampak pada arsitektur YB. Mangunwijaya tersebut merupakan suatu komunikasi pada setiap generasi. Bahwa kita sebagai manusia memiliki kemampuan yang sama hebatnya. Bahwa dari karyanya pula dengan tidak sadar kita tengah berbincang mengenai apapun yang terdapat di dalam diri dan pemikirannya. Dan semua itu terwakili oleh form yang terwujud.

Say it flower”, bunga adalah bentuk ekspresi yang menggambarkan emosi si pemberi. Perumpamaan maksud, dan penyampai pesan yang ditujukan pada orang yang menerimanya.

Jadi…tidak sepenuhnya benar jika kita terus bungkam.

Ungkapkan saja apapun yang menjadi ide dan gagasan itu menjadi bentuk yang kita sukai. Menjadikan sebuah karya sebagai cermin kreasi yang artistic. Jangan tunggu orang – orang di sekitar kita terlalu jemu dengan kegaguan kita. Karena Dr. Ir. Wahyu Suparto pernah pula mengatakan pada program PPKIM Kopertis V Yogyakarta sebulan yang lalu, bahwa suatu pemikiran belum dikatakan ide sebelum menjadi sebuah tulisan. Dan tentu saja maksud dari “tulisan” itu adalah sebagai titik pusat yang diorientasikan pada bentuk karya lain. Dan Dra. Sylvi Dewajani, Dip.,NEBSM. juga mengingatkan kepada peserta waktu itu bahwa kesalahan fatal bagi orang yang tidak kreatif adalah merasa dirinya tidak kreatif. Dan yang harus selalu diingat adalah pesan dari temanku yang membuat aku malas menyebutkan namanya. Dia bilang “lebih baik narsis daripada minder…!”. Hm…..asal tidak berlebihan, boleh juga brow..!.

“Say it flower!” ,“say it form!”, “say it work!”.


Adhe

07-06-08 Yogyakarta.


Nilai estetis dan kenyamanan akan timbul dari rasa dan fikiran yang bijaksana”.



Senin, 02 Juni 2008

pesan dosen..



hal ini aku dapatkan waktu aku nganterin temenku kerja praktek kurang lebih sebulan yang lalu.
kebetulan tempat kerja prakteknya adalah proyek dosen kami di kota yogyakarta.
dan aku sempat mendengar dosenku yang kebetulan sedang ada di lapangan ( proyek ).
beliau mengingatkan aku tentang tiga hal yang menjadi faktor sukses manusia.
yang pertama beliau menyebut intelektuil,
yang kedua emosionil,
dan yang ketiga spirituil.
mungkin jika dinalar dengan logika ketiga faktor tersebut merupakan sudut2 yang membangun sebuah massa, dimana bila salah satunya tiada maka konstruks kesuksesan manusia akan pincang dan tidak utuh seperti segitiga yang kehilangan satu garis.