Rock 'N Roll

Rock 'N Roll

Jumat, 12 Februari 2010

taken from: UDARA JAKARTA (Adhe Su Herman)


AIR PUTIH SI KEMBAR
(27-Jan-’10) Adhe Su Herman


Si kembar berseteru lagi. Hanya karena minuman keduanya tidak ada yang mau mengalah. Melihat peristiwa itu Ibundanya bergegas keluar dan melerai;

“Bagas, Bagus! Hanya untuk minum tidak boleh berebut.”
“Tapi, Mah…” kata Bagas. “Bagas tidak mau gelas plastik ini.”
“Bagus….tukar gelas bening itu dengan Bagas, Nak.” Bujuk Ibunya.
“Tidak, Mah. Bagus tidak mau.”

Sepertinya tidak ada lagi jalan keluar. Ketiganya sama-sama kepala batu.

“Baik..!” putus Ibunya. Dan kedua gelas itu diminta si Ibu untuk diletakkan di atas meja. Si kembar menuruti kemudian keduanya duduk.

“Lihat.” Kata si Ibu sembari menuangkan air yang ada di dalam gelas plastik itu ke dalam gelas bening. Volumenya bertambah, jadi airnya meluap sampai berceceran menggenangi permukaan meja.

“Sekarang,” kata si Ibu. “Mana air punya Bagas, dan mana air punya Bagus?”

Si kembar diam saja. Yang dilakukannya hanya saling pandang-pandangan tidak mengerti, sekaligus merasa khawatir.

“Padahal Mamah menyuruh kalian hanya untuk minum. Bukan untuk mempermasalahkan gelasnya.”

Dari sejak itu, si Ibu menghukum si kembar; keduanya disuruh minum air keran setiap pagi. Dan si kembar kembali menuruti tanpa mempermasalahkan lagi keran yang menampung air untuk mereka. Karena yang mereka tuju adalah air, bukan wadahnya. Dan sesekali air tidak pernah bisa dibedakan jika yang padat tidak ada.


BURUNG GEREJA

(19-Jan-’10) Adhe Su Herman


Pagi-pagi sekali aku sudah kaget. Kaca jendela kamarku dihajar burung gereja. Sungguh sebuah kejutan. ‘Aneh’, kalimat itu kemudian muncul tiba-tiba dalam pikiranku. Jakarta bukan Monggang. Di sini habitat ekosistem sudah terjual habis pada tengkulak urbanisasi. Tapi burung gereja itu masih berada di balik jendela.
Diam-diam aku perhatikan burung tadi dari dalam kamar. Matanya hitam seperti kain Ka’bah. Paruhnya mengatup dan kaki-kainya lemah.

Dan tidak begitu lamanya, burung gereja mendadak pergi lagi entah kemana.

Sore harinya aku bertanya pada Induk Semang; apakah di sini banyak burung gereja? Jawabannya; tidak. Ternyata burung gereja yang menghajar jendela kamarku tadi pagi hanyalah seekor tawanan yang bingung.

Di sebuah ruang teras, seorang anak kecil menenteng sangkar kosong sambil menangis-nangis menanyakan burung gereja pada ibunya:

“Di mana burung gerejaku, Mah?” “Di mana burung gerejaku, Mah?”

Si Ibu tidak tahu kemana perginya, begitupun si Ayah yang tidak pernah ambil pusing dengan kekasih hati anaknya itu. Diam-diam dalam hati aku menjawab;

“Burung gereja itu sedang mencari Gerejanya, Dik.”

Si anak kecil tadi tidak juga diam. Tangisannya kian lama kian pecah.

SEMUT

(14-Jan-’10) Adhe Su Herman


Saat aku memulai kerja, seekor semut menggigit kakiku kuat sekali. Sakit. Tapi aku diam saja. Mungkin dia pikir aku telah membuatnya marah.

Dipertengahan waktu kerja, aku membuat teh hangat. Toples gula dalam keadaan terbuka, di dalamnya penuh semut. Jengkel. Tapi aku diam saja. Mungkin dia pikir gula itu hadiah dari Tuhan.

Usai dari kerja, aku istirahat sambil menonton tivi.

“Sial!”

Gambarnya bergoyang-goyang. Mungkin karena mendung, jadi banyak semutnya.

Setelah aku berkata ‘sial’ itu, semut-semut tidak juga hilang.