Rock 'N Roll

Rock 'N Roll

Rabu, 11 Juni 2008


Sepatu


“Huu..uu..uu….”

Suara tangisan itu aku dengar lamat – lamat dari luar kamar. Jam setengah sepuluh siang aku masih setengah sadar dalam tidurku. Semakin lama suara tangisan tadi semakin jelas dan membuat tidurku tidak lagi nyaman.

“huu..uu..uu….”

Ya ampuun..kuat sekali anak itu. Batinku jengkel sambil berusaha bangkit dari tidurku.

Seketika aku jadi sadar dan mulai penasaran. Dengan cepat akupun meninggalkan tempat tidurku mendekati jendela kamar yang masih tertutup gorden warna kelabu. Lalu aku menyingkap gorden jendelaku untuk melihat keluar. Aku lihati di luar sana tmpaknya si bayu anak pak jiwo sedang menangis di teras rumah kontrakannya. Dia menangis dengan posisi duduk menghadap kamar kostku.

“hm….pantes suara tangisnya bening banget” batinku kala itu.

Setelah memastikan, aku kembali mendekati bantalku yang sudah nampak seperti globe.

Hari ini aku tidak berangkat kerja. Mungkin karena sudah dua hari ini aku kerja penuh dan tidak tidur. Apalagi kemarin malam aku sempat kehujanan waktu melembur di terminal. Imbasnya sekarang badanku seperti sedang digendongi kuntilanak. Pegal, panas, dan merinding terus.

“sudah toh lek, jangan nangis terus. Nanti kalo bapakmu ada rezeki dibelikan yang baru.”

Suara itu aku dengar dari luar kamar. Nampaknya ibu si bayu sedang berusaha menghibur anakanya yang belum juga berhenti menangis.

Untuk beberapa saat aku masih berusaha untuk meneruskan kemalasanku. Tapi semakin dicoba kedua mataku sepertinya semakin protes. Akhirnya akupun menyerah dan bangkit untuk mengambil handukku yang tergantung di balik pintu kayu. Setelah mengambil handukku, akupun mengganti jeans belelku dengan sarung bermotif kotak – kotak yang sangat teratur menyerupai kawat nyamuk. Tak begitu lama lalu akupun membuka pintu kamar kostku untuk pergi ke kamar mandi.

“nggak pergi kerja mas?” Tanya ibu si bayu bermaksud menegur aku.

“nggak bu, males.” Jawabku seenaknya.

“loh…koq males?, bagaimana mau dapat istri kalau begitu?” ledek ibu si bayu sambil terus mengerjakan pekerjaan rumahnya.

Dan aku hanya bisa tertawa mendengar ledekan ibu itu. Memang dia paling pinter bikin orang semangat. Dasar ibu –ibu, di mana – mana selalu saja halus dan baik.

Pada saat aku berjalan menuju kamar mandi yang memang melewati depan rumah kontrakan ibu itu, tiba – tiba pak jiwo suaminya muncul dari gang sebelah.

“sudah pulang pak?” sapaku pada pak jiwo.

“iya nih, si bayu ada - ada saja.” jawabnya ringan.

“lho, memangnya kenapa dengan si bayu?” tanyaku tak mengerti.

Lalu sambil duduk di sebelah anaknya iapun mulai bercerita.

“si bayu nangis- nangis minta dibelikan sepatu baru.” Jelasnya dengan wajah kusut.

“memangnya kenapa dengan sepatumu yu?” tanyaku bermaksud pada bayu yang masih terisak.

Tapi anak itu samasekali tidak menjawab. Dia tampak sibuk menghabiskan sisa tangisnya.

“itu loh mas, tadi pagi waktu bayu mau berangkat sekolah, sepatunya yang sebelah kanan hilang, nggak tahu lupa ditaruh dimana, atau mungkin di bawa sama tikus”. Tanpa ada yang menyuruh tiba – tiba istri pak jiwo yang sedang membersihkan kaca depan rumahnya itu berusaha menjawab pertanyaanku.

“memangnya tidak ada sepatu lain bu?.” Tanyaku pada ibu itu.

“ada, cuman ya bayu nggak mau pakai karena sebelah kanannya juga sudah jebol.” Jelasnya lagi.

“terus si bayu nggak jadi berangkat sekolah dong!?” tebakku sambil memperhatikan bayu yang masih mengenakan seragam lengkapnya.

“berangkat, cuman pulang lagi sambil nangis – nangis.” Jawab ibunya.

“kok nangis – nangis, memangnya kenapa?”. Tanyaku menyelidik.

“itu, karena dia merasa malu diejek dan ditertawakan sama taeman – temannya”.

tambahnya lagi.

“diejek?”.Tanyaku lagi makin heran.

“iya, gara – garanya tadi pagi bapaknya bilang begini. Sudahlah yu, sementara kamu pakai sepatu yang kiri semua, nanti…”. Perkataan ibu itu tiba – tiba terhenti waktu suaminya cepat memotong.

“Alaaah…perempuan di mana – mana memang sukanya nambah – nambahin!”. bela pak jiwo.

“memang kenyataannya seperti itu kok!”. bantah istrinya tak mau kalah.

“iya, tapi maksud aku kan baik. Aku bilang sama bayu Cuma seperti ini. Yu, hari ini kamu ada ujian. Jadi daripada kamu nggak dapat nilai dan nantinya dihukum, lebih baik kamu untuk sementara pakai sepatu yang sebelah kiri semua dulu. Nanti mudah – mudahan besok kalau ada rezeki bapak belikan sepatu yang sebelah kanan semua, jadi kedua pasang sepatu itu nanti bisa terpakai lagi. Bener kan mas!?”. Kata pak jiwo dengan muka jengkel seolah minta dukungan aku.

“iya pak..”. jawabku asal sambil menahan tawa.

“lagipula siapa yang mau jual sepatu yang sebelah kanan semua?, kalopun ada ya nanti bayu bakal repot juga waktu ikut paskibra. Teman – temannya menghitung, kiri..kanan…kiri…kanan.., bayu malah menghitungnya kiri melulu toh mas!?”.tandas istrinya sambil memandang kearahku.

“iya juga bu..”. jawabku makin geli.

Dan yang membuat aku tambah geli, sementara bapak ibunya saling ngotot,

anaknya malah bengong saja sambil ngupil.

Lalu sambil tertawa kecil, istri pak jiwopun masuk kedalam dan berkata.

“anak sama bapak sama saja..!”.

“iya, ibunya juga..!”.timpal pak jiwo kesal.

Pak jiwo seorang sopir taksi yang kadang nyeleneh. Dan istrinyapun kalau bicara kadang – kadang kurang teratur. Makanya bukan hal aneh jika hari ini keduanya bertengkar cuma karena hal kecil. Pertengkaran itupun menurut aku terkesan menjadi novelty untuk sebuah keluarga yang sederhana. Karena justru dari kekonyolan – kekonyolan seperti itu keeratan batin mereka semakin terbangun.

Tak berapa lama pak jiwo yang telah menghabiskan hisapan rokoknya mulai bangkit sambil menggendong bayu anaknya.

“mas, aku masuk dulu”. Pamitnya.

“o iya pak, aku juga mau ke kamar mandi” Kataku.

Akhirnya pak jiwo dan anaknya si bayupun masuk ke dalam rumah. Sementara aku yang masih berselendang handuk meneruskan maksudku untuk ke kamar mandi.


***


Malam harinya seusai aku pulang kerja. Aku menemui pak jiwo yang sedang duduk sendiri di teras depan rumah kontrakannya. Seperti biasa, sambil menghembuskan asap rokok iapun menyapa aku yang tiba – tiba datang manghampirinya.

“baru pulang?” sapanya.

“iya pak”. Jawabku.

“sini duduk!”. Ajak Pak jiwo sambil menyodorkan kursi plastik warna hijau daun yang ada di sebelah kanannya.

“makasih pak” sahutku singkat.

Setelah aku mengambil posisi duduk sejajar dengannya, pak jiwo langsung berkata kepadaku.

“Aku kok heran ya.., kenapa semua orang menertawakan anakku?” ungkap pak jiwo tanpa menoleh ke arahku.

“padahal apa salah dia?” tambahnya lagi.

“kalaupun itu gara – gara anakku memakai sepatu kiri semua, aku fikir itu sah – sah saja. Lha wong kedua – duanya sama – sama sepatu toh mas!?” ungkapnya lagi. Kali ini dia menyerongkan mukanya ke arahku.

Dalam hati justru aku yang bertambah heran. Kenapa seorang pak jiwo sampai sejauh itu memikirkan permasalahan kecil. Toh kalau dia pergi ke tukang loak dan membeli sepatu bekas buat anaknya, saya yakin semuanya akan beres.

Tapi saat itu aku hanya diam saja tanpa menanggapi apa yang dipikirkan oleh pak jiwo. Aku hanya bisa melihati dia yang terus saja menatap kosong sambil kedua bahunya bersandar di dinding yang berwarna pudar. Sesekali aku perhatikan ia memainkan batang rokok kretek di sela – sela jarinya yang legam. Jari – jari yang menggambarkan kerja keras seorang perantau. Padahal usianya belum terlalu tua. Menurut pak jiwo dia menikahi istrinya saat berumur dua puluh empat tahun. Itupun kata istrinya pak jiwo masih punya hutang maskawin sampai sekarang. Dan sekarang usia perkawinannya sudah hampir tiga belas tahun. Hm…benar – benar keterlaluan.

Sesaat keadaan menjadi hening. Badanku mulai terasa capek. Aku samasekali tidak bersemangat untuk ngobrol lama – lama dengan pak jiwo. Hingga pada saatnya pak jiwo kembali menghadapi aku dan nampak mulai berkata – kata lagi.

“begini saja mas..,besok kita berangkat kerja pada jam yang sama. Dan sebelum memulai kerja masing – masing, sepatu kita bertukaran sebelah. Gimana?”.tutur

pak jiwo.

“maksudnya?” tanyaku tidak mengerti.

“ya saya memakai sepatu mas yang sebelah kiri. Dan mas yang memakai sepatu saya yang sebelah kanan. Jadi saya kerja dengan memakai sepatu sebelah kiri semua, dan mas yang kerja memakai sepatu sebelah kanan semua”.jelasnya.

“tungu…tunggu…tunggu.., kok masalahnya jadi rumit gini sih pak?” tanyaku

semakin tak mengerti.

“yang rumit itu otak mas, bukan masalahnya..” tegasnya.

“waduuuh…pak jiwo ini ada – ada aja..” sahutku melemah.

“jadi maksud saya, saya ingin tahu kenapa kok bisa – bisanya anakku itu ditertawakan banyak orang. Nah, aku pengen membuktikan. Lagipula Cuma sehari doang kok mas..” paparnya lugas.

Ya ampuun…Aku samasekali nggak bisa mikir.

Yaah…coba ya kalau waktu pulang tadi aku langsung masuk kamar. Mungkin aku nggak bakal ketemu dengan ide konyol kayak begini.

“Gimana mas?”. Tanya dia lagi.

“Iya deh atur aja…, emang ya sopir taksi jaman sekarang…”. sungutku tak bersemangat.

“nnaaah…gitu dong…baru namanya teman..” katanya dengan wajah sumringah.

“ayo..ayo..diminum kopinya..!” tawarnya padaku dengan riang.

Yaaah…lagian kopi yang mana?. Orang ada segelas doang. Mau kayak pengantin

baru gitu barengan sama dia!?. Hmm…mending juga tidur pak. Bisa ketemu sama artis.

“ayolah diminum..!” tawarnya lagi setelah melihat aku yang terus diam.

“iya makasih pak, aku mau pulang aja.” Tolakku halus.

“loh..kemana?” tanyanya.

“ngantuk”. Jawabku sambil berlalu.

“ya sudah..sampai besok ya..jangan lupa!”. Katanya lagi.

“iyaaaa..”. jawabku malas sambil masuk kamar.

***

Pagi harinya aku berangkat kerja berbarengan dengan pak jiwo tetangga kostku itu. Kami berjalan menyusuri jalan gang yang menuju jalan besar. Dan sepeti yang telah direncanakan pak jiwo tadi malam, sesampainya kami di ujung gang pak jiwo mengajak aku untuk berhenti sejenak di depan sebuah bengkel yang kebetulan pada jam itu masih tutup.

“ayo lepas sepatumu!”. Suruhnya.

“iya sabar..”. ucapku.

Setelah kami bertukaran sebelah dari sepatu kami masing – masing, kamipun

berpisah untuk menuju tempat kerja. Namun sebelum berpisah, kami berdua sempat memandangi sepatu kami masing – masing. Dan tanpa berkata – kata, tawa kamipun spontan meledak berbarengan. Hwa..ha..ha..ha..ha..!! ( Hm…benar – benar aneh! ).

Ada perasaa risih dan malu yang sangat luar biasa yang aku alami selama memakai sepatu sebelah kanan semua itu. Memang tidak semua orang yang dengan seksama memperhatikan sepasang sepatu yang aku kenakan. Namun bagi yang melihatnya sangat mustahil untuk bisa menahan ketawa atau sekedar berkomentar aneh. Apalagi waktu aku bertemu dengan rekan – rekan senasibku di tempat biasa kami mengambil barang dagangan sebelum berjualan.

“lek, kakimu kok kayak kepiting?” ucap ibu penjaga warung waktu itu.

“iya bu, kan lagi musim!”. Jawabku seenaknya.

“ha..ha…ha…sepatumu ketuker di musholla mana?” celetuk kawanku.

“tau nih, yang nukernya aja gak liat – liat”. Jawabku lagi.

Tidak habis – habisnya kawan – kawanku itu memberi komentar yang tentu saja bukan pujian. Tapi aku tanggapi dengan santai. Toh yang mereka tahu tentang aku memang aku dikenal suka asal dan seenaknya.

Waktu terus berlanjut. Aku kemudian berjualan seperti biasanya. Meski terkadang aku merasa risih dan malu dengan tanggapan orang – orang mengenai sepatuku. Tapi aku menutupi perasaan maluku itu dengan selalu berpura – pura tidak melihat mereka dan terkesan aku tidak menyadari apa yang sedang mereka perbincangkan dan mereka tertawakan.

Tak terasa hari sudah siang. Daganganku masih tinggal separuh lagi. Aku memutuskan untuk beristirahat di sebuah musholla kecil di area belakang halte pemberhentian bus kota. Sebenarnya tidak terlalu masalah dengan sepatuku yang berpasangan tidak selayaknya itu. Buktinya aku masih bisa berjualan tanpa ada yang terganggu atau mengganggu. Tapi aku juga berfikir. Aku seperti menyalahi kodrat dan aturan yang tidak bisa ditentang. Sepengetahuanku, belum ada suatu kaum atau golongan yang mempunyai tradisi mengenakan sepatu kiri semua atau kanan semua. Kalaupun ada paling – paling juga si gimbal pasar induk yang setiap harinya mengenakan aksesoris serba plastik bekas sayuran itu. Lha kuda saja belum tentu mau diberi sepatu kiri samua atau kanan semua. Apalagi manusia. Jadi kalau ada yang meledek, menghina atau mentertawakan aku bukan berarti mereka yang salah. Justru ledekan, hinaan dan tertawaan mereka itu sebenarnya nasihat dan teguran bahwa aku ini sedang salah dan sedang bermasalah.


***

“ lek..lek..bangun lek!”

Aku terperanjat kaget ketika ada orang yang menggoyang – goyangkan tubuhku. Setelah sadar, akupun bergegas bangkit dan mengambil barang daganganku yang aku letakkan di rak penitipan sepatu. Sepertinya pada waktu istirahat seusai sholat dzuhur tadi aku bablas ketiduran. Untunglah si takmir musholla itu membangunkan aku tepat waktu. Kalau tidak, mungkin aku bisa dijadikan sajadah buat orang – orang yang menunaikan sholat ashar nanti.

***

Tapatnya jam lima sore, aku merasa tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan pekerjaanku apalagi berniat lambur. Terakhir tumpangan, aku turun di pangkalan taksi tempat dimana pak jiwo biasa nongkrong. Niatnya ingin bertukar sepatu dan langsung pulang. Tapi sialnya pak jiwo sedang ada tarikan. Jadi terpaksa aku urung untuk bertukar sepatu. Dan bukan itu saja, teman – teman seprofesinya pak jiwo mentertawakan aku habis – habisan. Yah…aku maklum sih. Soalnya rata – rata semua sopir yang ada di pangkalan itu kenal baik dengan aku. Jadi wajar saja kalau mereka tidak canggung untuk meledek aku.

“ eh lek, mbok ya kamu itu masih muda, belum punya istri. Jadi nggak usah ikut – ikutan gendeng kayak si jiwo itu!”. Ledek salah satu dari rekan mereka.

“ aku nggak ikut – ikutan kok pak..!”. tegasku sambil terus mengunyah gorengan tempe yang aku ambil dari warung pangkalan itu.

“ lha itu, sepatumu..!”. Katanya sambil menunjuk – nunjuk sepatuku.

“ ya itu kan pak jiwonya saja yang ikut – ikutan aku.., gengsilah aku ikut – ikutan dia!”. balasku lagi.

“ hwa..ha..ha..ha..hah..ha..!!, ya itu namanya sama saja. Malah kamu yang lebih parah..!”. sambung temannya lagi sambil terbahak – bahak..

“ kok parah??, macam tubrukan opelet saja lah kauuu…!!” kataku menimpali dengan gaya bahasa batak. Karena memang yang terahir nyeletuk itu berasal dari medan.

Spontan pangkalan itu jadi bising dengan ocehan – ocehan yang dibarengi beraneka macam tertawaan para sopir taksi itu.

“ sudahlah bang, aku pulang dulu”. Pamitku sambil meminum es teh milik salah satu sopir itu.

“ pulanglah sana, bilang sama si jiwo itu supaya jangan ikut – ikutan lagi. Malas aku tengok dia setiap hari seperti itu. Hwa..ha..ha..ha..!!”. katanya sambil dibarengi tertawaan teman – temannya.

“ siiipp..!!”. jawabku sambil berlalu meninggalkan pangkalan taksi itu.


***


Usai setoran dan mengambil hasilnya, akupun berpamitan pada bos yang punya barang daganganku.

“ aku pulang dulu pak”. Pamitku.

“ o iya hati – hati !”. kata bapak itu membalas.

“ besok ganti loh lek sepatunya !” tambah istrinya penuh perhatian.

“ siipp..!!”. jawabku enteng.

Kali ini aku pulang tidak seperti biasanya. Aku tidak melewati arah dari jalan besar. Tapi kali ini aku berjalan kaki menyusuri jalan jalan kecil perumahan menuju kostanku.

Tidak tahu kenapa aku suntuk sekali hari ini. Mungkin karena aku yang belum benar – benar fit dari sakit, atau mungkin juga dikarenakan ide pak jiwo yang konyol itu. Tapi yang jelas saat ini aku sedang geram sekali sama pak jiwo yang tidak bisa aku temui di pangkalan tadi. Karena bisa saja nanti istrinya marah – marah sama pak jiwo lantaran tahu sepatunya bertukaran sebelah dengan aku. Mungkin kalau dia seusiaku dan belum punya keluarga, sudah aku pelintir kupingnya biar jadi dodol sekalian. Hm..mungkin ini kali ya yang disebut – sebut anggun c. sasmi!?. Tua – tua keledai!.

Tak terasa aku sudah sampai di gang petruk. Artinya tinggal satu belokan lagi aku masuk gang cakil dan sampailah aku di kostku. Tapi..istrinya pak jiwo sore – sore seperti ini biasanya lagi sinden gossip sama tetangga – tetangganya. Wah..simalakama juga.

Aku terus membatin sepanjang menuju kostanku. Dan dalam kebingungan seperti itu tiba – tiba aku kaget mau bertubrukan dengan seseorang yang datang dari arah gang sebelah.

“ Oupps..!!”. kagetku.

Hari ini benar – benar membuat aku naik darah. Ternyata orang yang mau tubrukan denganku itu adalah orang yang membuat aku jengkel seharian. PAK JIWO.

Aku berdiri mematung menahan geram. Dan aku lihat juga pak jiwo dengan wajah tak berdosanya hanya diam saja berdiri tak bergeser sama sekali dari hadapanku. Aku semakin bertambah jengkel. Namun entah kekuatan apa yang membauat mata kami saling memandang muka masing – masing. Dalam, lekat, penuh amarah, dan sedikit aneh. Karena kuperhatikan sudut bibir legam pak jiwo seperti perlahan – lahan tertarik kesamping. Dan pada saat yang tidak bisa dibendung lagi, saat itulah dengan spontan kami seperti ada yang memberi komando.

“hwa..ha..ha..ha..ha..!!hwa..ha..ha..ha..ha..!!”

Aku dan pak jiwo tertawa kencang bersamaan. Kami terus saja terbahak – bahak sambil memegang perut masing – masing. Kami tidak kuat menahan tawa. Untuk beberapa saat lamanya tawa kami tidak juga berhenti. Namun sesekali tawa kami itu surut dengan sendirinya. Aku dan pak jiwo tetap memegang perut sambil mengaduh – aduh menahan mules dan ngilu di punggung. tapi tidak begitu lama tawa itu meledak lagi dengan kekehan yang lebih kencang. Seperti ada ribuan pelawak saja yang menggelitiki kami. Sampai - sampai tidak sadar kalau tingkah laku kami sedang diperhatikan oleh beberapa orang kampung yang kebetulan melihatnya.

Tertawaan itu akhirnya membuat kami menyerah dan lelah. Sambil terus memegangi perut masing – masing, kami berduapun terduduk di tanah dan bersandar pada dinding pagar gang yang penuh coretan bomber.

“ memang…memang..” aku dengar suara pak jiwo terputus – putus oleh nafasnya yang tersengal – sengal.

Namun setelah berusaha menenangkan diri, aku lihat pak jiwo sepertinya mulai menyambung kata – katanya lagi.

“ memang mas, memang bener – bener konyol…!”. Katanya.

“ sudah tahu konyol masiiih saja ngotot bertukaran sepatu..!” kataku menimpli.

“ iya, kadang orang itu malas mengakui kebenaran yang sudah pasti”. Ucapnya.

“sudahlah aku mau pulang. Balikin sepatuku!”. Pintaku dengan nada sedikit jengkel.

Setelah kami saling bertukar sepatu. Kamipun langsung bangkit dan berjalan menuju tempat dimana kami tinggal.


***


Malam ini seperti biasanya. Aku sendirian di kamar sambil mendengarkan musik yang disuarakan dari gelombang radio lokal. Tidak banyak hal yang aku lakukan dalam kamarku. Aku hanya berusaha nyaman dengan duduk bersandar di atas kasurku sambil melihati gambar – gambar dari Koran bekas. Tapi entah kenapa tiba – tiba saja aku jadi teringat dengan kata – kata yang diucapkan pak jiwo tadi sore.

“kadang orang itu malas mengakui kebenaran yang sudah pasti”. ucapnya kala itu.

Kiri dan kanan. Tak ubahnya Laki – laki dan perempuan. Yang keduanya merupakan bentuk symbolic atas perbedaan yang tidak bisa dibantah namun tidak pula untuk dipisahkan apalagi ditukar.

Tidak ada kreatifitas yang bisa mengubah keadaannya menjadi lebih indah selain menjaga. menghargai dan mengakuinya sebagai kebijaksanaan dari sang maha bijaksana. Haruskah orang - orang yang memiliki ide konyol seperti pak jiwo lalu dikatakan sebagai seseorang yang lebih sempurna dibandingkan kebijaksanaan – kebijaksanaan yang telah ditetapkan olehNYA? Ataukah memang harus seperti itu agar kita dikatakan sebagai seseorang yang memiliki gaya hidup sendiri?.

Gaya hidup…!?

Gaya hidup macam apa lagi…?



Adhe

(Taken from my experience at ’04.)

11--06-08 Yogyakarta.







Tidak ada komentar: