Rock 'N Roll

Rock 'N Roll

Minggu, 31 Agustus 2008

O P I N I



O P I N I

Pembaca yang budiman, saya senang sekali dengan program – program televisi yang bermuatkan informasi, pengetahuan dan hal – hal menarik lainnya. Salah satu program terbaru yang pernah saya simak adalah “Golden Ways” yang disiarkan oleh televisi swasta. Materinya lumayan menarik, bahkan ada banyak hal yang disampaikan dalam segmen tersebut membuat saya terbuka hati dan membenarkannya. Naman dari hal - hal tersebut ada satu pernyataan yang cukup mengganggu nalar. Pada suatu kesempatan (pada episode pertama) sang penyampai pernyataan itu berkata bahwa “Semakin gila seseorang maka dia semakin memiliki cinta”. Kurang lebih pernyataannya seperti itu.
Namun seusai saya menonton tayangan program televisi tersebut saya jadi banyak berfikir, bahwa pernyataan tadi seolah – olah merupakan suatu perkataan yang subyektif dan terkesan terburu – buru tanpa memperhatikan sisi - sisi lainnya yang memang sangat berkaitan. Bukankah substansi dari cinta itu sendiri adalah abstrak?
Pembaca yang budiman, jika anda pernah mengetahui legenda cinta abadi tentang Qais dan Laila, maka saya sangat ingin menceritakannya kembali kepada anda. Bahwa pada saat sang Qais mencintai laila dengan sepenuh - penuh cintanya, ia memang betul - betul sampai gila di mata kabilahnya, namun tidak di dalam dirinya. Sang Qais menyaksikan Laila menikah dengan laki laki lain. Hatinya tercabik, namun cintanya sama sekali tidak terbunuh justru semakin suci terjaga. Ia pergi ke hutan gurun dan mengasingkan diri sepanjang hayatnya hanya untuk mengabdikan jiwa dan raganya untuk mencintai Laila seorang.
Suatu ketika, sang singa perang nan masyhur yang bernama Naufal menemukannya saat ia tengah berburu. Dari pertemuan itu lalu merekapun saling bercerita dan akhirnya saling menghargai satu sama lain. Al hasil sang singa perang itupun tergerak hati berniat untuk menolongnya dan berjanji akan membantu Qais untuk merebut Laila kembali.
Seiring berjalannya waktu, sang Qais yang menderita cinta itu kembali hidup terbaur dalam masyarakat di bawah janji Naufal yang akan membantunya untuk merebut Laila. Dan pada hari yang telah ditentukanpun tiba. Sang Qais dan Nauifal beserta pasukannya mendatangi kabilah Laila untuk bernegosiasi. Naufal menuntut agar Laila diserahkan pada Qais dan peperanganpun bisa dihindarkan. Namun kabilah Laila menolak dan berkata,
“ Lebih baik kami musnah daripada Laila harus bersanding dengan si gila itu”. Hasilnya bisa ditebak, peperangan dua pasukanpun terjadi. Pasukan Naufal menyerang kabilah Laila. Mereka terus mendesak hingga sampai pada pertahanan terakhir. Namun apa yang terjadi pada Qais?, lalu apa yang dilakukannya?. Ternyata Qais hanya terdiam di atas kudanya tanpa melakukan sesuatupun hingga peperangan usai dan dimenangkan oleh Naufal. Lalu Naufal bertanya pada Qais,
“Kenapa engkau tidak ikut berperang dan selalu bersorak sorai ketika musuh berhasil membunuh salah satu dari pasukan kami?, sedangkan engkau tau kami berperang adalah untuk membantumu”.
Dan Qaispun kemudian menjawab,
“Aku sangat mencintai Laila, dan aku tidak mungkin menyakiti kabilahnya apalagi membunuh mereka. Dan bukan kesombongan seperti ini yang ingin aku tunjukkan demi cintaku pada Laila”.
Dari penggalan cerita di atas, saya akan menjadikannya sebagai rangkuman untuk menarik kembali pada persoalan awal. Bahwa makna “Gila” yang dikatakan oleh seseorang yang di televisi itu sama sekali tak terdefinisikan. Sedangkan kita bisa melihat dari sikap Qais yang enggan berperang hanya untuk merebut Laila. Qais menunjukkan cinta sejatinya, cinta yang tidak harus berbuat gila untuk menguasai yang dicintainya. Karena cinta Qais adalah cinta yang santun, cinta yang terhindarkan dari nafsu – nafsu yang membuatnya gila dalam arti wadag. Cinta yang berlindung dari hal – hal yang merusak. Cinta baginya adalah cinta yang menyelamatkan dengan perasaan yang lebih jernih. Cinta yang seharusnya menjadi pemimpin bagi kehidupan lahir maupun batin yang dicintainya.
Jadi jelas, kegilaan seorang Qais sama sekali tidak semakna dengan yang dimaksidkan ‘Gila” oleh seseorang di televisi itu. Makna “Gila” dalam konteks ini seharusnya lebih lebar dalam cakupannya mengenai esensi cinta itu sendiri, bukan dalam penerimaan arti gila yang kasat mata, toh bisa saja kegilaan – kegilaan itu tumbuh dari aroganisme nafsu yang terlalu kuat mencengkeram hati dan fikiran seseorang. Seperti halnya saat seseorang itu merasa lapar melilit – lilit namun ia tidak memiliki uang sepeserpun, sedangkan ia sadar bahwa jiwanya sangat mencintai tubuhnya yang telah dianugrahkan tuhan, maka ia berfikir wajib untuk memberi tubuhnya makanan yang bervitamin dan bisa membangkitkan kesegaran kembali. Lalu apa yang harus ia perbuat ?, akankah ia menunggui pemilik warung makan bergegas kebelakang untuk mencuci piring lalu ia mencuri dagangannya!?, ataukah ia merampas semangkuk bubur ayam yang tengah disantap anak – anak balita saat orang tuanya tengah berbincang dengan teman PKK nya!?, atau mungkin bisa jadi ia mengemis, meminta belas kasihan, atau apalah tindakan – tindakan yang membuat ia menjadi gila untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendakinya dalam konteks mencintai.
Namun cinta yang sebenarnya akan berkata: “aku akan menyelamatkanmu tubuhku, aku melindungimu dari perbuatan – perbuatan gila dan bodoh agar engkau tetap bersih terjaga dari sesuatu yang kotor dan merusakkan, karena engkaulah milik tuhan yang harus aku pertanggung jawabkan, maka aku akan memilih jalan yang lebih santun untuk mencintaimu”. Dan ia akan selalu berfikir bahwa jalan cinta itu sangat indah, seindah iman seorang muslim tatkala menyungkur di atas kambal lusuh di sepertiga malam.
“Terkadang demi sebuah kebenaran kita harus kehilangan keinginan – keinginan kita, bahkan mimpi kita sekalipun” : (Peter Parker, SPYDER-MAN 2).

Bagiku, pernyataan seseorang yang di televisi itu terlalu sederhana, sesederhana orang yang mengatakan bahwa rembulan itu berbentuk bulat dan berwarna kuning. Padahal kita mengetahui bahwa rembulan itu merupakan tata surya dan bukan benda bulat yang digantungkan di langit dan diberi cat warna kuning. Jadi definisinya tidak akan sesederhana itu.
Saya kira kisah cinta sang Qais terhadap Laila sudah lebih dari cukup untuk dijadikan sebagai titik pertimbangan dalam mengartikan cinta yang sebenarnya.
Seperti cinta yang disampaikan oleh Muhammad (Rasulullah) sang pangeran cinta yang sejati. Beliau sama sekali tidak pernah menjadi gila dalam penyampaian cintanya untuk semua orang dan semua golongan di sepanjang zaman. Dengan penuh santun beliau menebarkan cahaya cinta, bahkan pada pernyataannya terhadap tuhan tidak pernah terucap oleh utusan – utusan lain. Beliau berkata di hadapan tuhan di depan pintu syurga: “ Hamba tidak akan memasuki syurgawi yang damai sebelum seluruh ummat hamba telah masuk kedalamnya, maka ampunilah mereka ya Allah!”. Dan sepanjang waktu Muhammad selalu berdoa untuk ummatnya sampai akhir zaman, lalu bagaimana dengan ummatnya?, pernahkah mereka memanifestasi cintanya terhadap Muhammad (rasul) atau sekedar titip salam dengan bersholawat kepadanya?.
Cinta beliau laksana cinta matahari yang memberi kehidupan pada bumi. Setiap detik matahari selalu sedia dengan sinarnya yang hangat meski terkadang cahayanya acap kali tertutupi oleh mendung dan planet – planet. Dan matahari tidak pernah berbuat gila atau memaksakan kehendaknya untuk memberi terang pada bagian – bagian bumi yang tertutup dan enggan menerima cahayanya. Ia terlalu setia dengan janji cintanya. Dan selama ini sang matahari tidak pernah meminta balas jasa apapun pada bumi, Samasekali tidak!.
Dari itulah pembaca yang budiman, mungkin alangkah akan lebih bijaksananya apabila kita memulai belajar mengenai tanah lahirnya (cinta) terlebih dahulu sebelum kita belajar tentang arti cinta itu sendiri. Kita mengetehaui bahwa form cinta adalah perasaan, dan perasaan hanya bersemayam di dalam hati. Namun kita juga tidak boleh melupakan bahwa cinta tidak hidup sendirian di dalam hati. Di sana ada sebuah bilik yang dihuni oleh nafsu. Sedangkan sifat nafsu sangatlah obsessif untuk mempengaruhi. Terkadang mencampuri bahkan terkadang juga mengalahkan dari kekuatan cinta itu sendiri. Bijaksananya, berhati – hatilah dalam menyampaikan cinta, jangan sampai kesuciannya dimanipulasi hanya karena kita tidak bisa membedakan mana perasaan cinta dan mana pengaruh nafsu.

“Berempati merupakan salah satu jembatan untuk memasuki bilik – bilik cinta yang benar”.


Penulis :

Adhe.
August 22-30 2008
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa.

Jumat, 22 Agustus 2008

Pensil


P E N S I L


Amara, si gadis mungil berusia hampir sebelas tahun. Matanya sangat bening dengan rambut keriting tebal berwarna gelap. Seolah dua bola matanya yang bening itu laksana bintang – bintang gemerlap yang berada di bawah hitamnya malam. Ia sangat manis dan menggemaskan bagi setiap orang yang dekat dengannya. begitu pula dengan neneknya yang pada malam itu sedang mengrejakan sesuatu di kamarnya. Neneknya begitu terlihat senang ketika dengan tiba – tiba Amara mengetuk pintu dan menerobos masuk menemui dirinya.

“Amara..!?” sapa neneknya kaget.

“Kamu belum tidur sayang..?” tambahnya lagi dengan maksud bertanya pada Amara yang langsung memeluk dirinya.

“Belum nek…” jawab Amara sambil terus menyusupkan kepalanya di pangkuan neneknya yang masih terduduk disebuah kursi.

Nenek itu kemudian mengelus – elus kepala cucunya dengan sayang.

Nenek sedang mengerjakan apa?” Tanya Amara sembari bangkit.

Nenek sedang menulis..” Jawab neneknya lembut.

“Nenek sedang menulis tentang Amara ya?” Tanya Amara lagi.

“Iya sayang, nenek sedang menulis tentang kamu.” Jawab neneknya lagi.

Tapi juga ada yang lebih penting dari itu.” Tutur neneknya.

“Apa itu nek?” Tanya Amara penasaran.

“Mengenai pensil yang sedang nenek gunakan saat ini.” Kata neneknya.

Sesaat Amara memperhatikan pensil yang ada di tangan neneknya. Dia berfikir pensil itu sama sekali tidak memiliki keistimewaan. Baginya pensil itu serupa dengan pensil – pensil lain yan sering ia temukan sehari – hari. Lalu kenapa neneknya berkata bahwa pensil itu menjadi hal yang lebih penting?.

Amara sama sekali tidak mengerti yang dimaksudkan oleh neneknya itu. Hingga pada akhirnya sang nenekpun mulai berbicara untuk menjelaskan pada cucunya.

Ketahuilah sayang, ada lima hal yang harus kamu teladani dari pensil ini.”

Yang pertama, pada saat kita menggunakan pensil ini, kita harus mengetahui bahwa pada setiap gerakannya akan meninggalkan jejak. Dan nenek berharap kamu juga akan bersikap seperti pensil ini. Yaitu selalu memperhatikan gerak – gerik kehidupanmu saat dewasa nanti. Sehingga setiap yang kamu lakuakan dapat meninggalkan jejak yang baik bagi kehidupan.”

Yang kedua, semakin lama pensil ini kita gunakan maka ujungnya akan menjadi tumpul. Maka pensil ini butuh diraut. Meskipun dalam setiap rautannya menimbulakan luka, namun pensil ini pada akhirnya akan menjadi lebih tajam. Dan nenekpun berharap kamu akan seperti pensil ini saat kamu dewasa, yang nanti bisa menyadari saat dalam perjalanan hidupmu mendapatkan cobaan dan ujian. Meskipun rasanya terlalu sakit, namun tujuannya adalah supaya kamu lebih cerdas dalam mensikapi ikhwal kehidupanmu selanjutnya. Maka bersabar dan tawakkallah”.

Yang ketiga, pada saat kita menggunakan pensil ini dan terdapat kesalahan, maka kita butuh penghapus atau penyetip untuk memperbaikinya. Dan nenek berharap kamu juga dapat mengkoreksi diri dan cepat memperbaikinya saat melakukan kesalahan-kesalahan dalam kehidupmu nanti.”

Yang keempat, dari pensil ini yang paling utama kita butuhkan adalah isinya untuk menulis dan menggambar, bukan kayu bagian luarnya. Maka perhatikan apa – apa yang ada dalam diri kamu. Karena itu sesungguhnya yang akan menjadi kwalitas diri kamu nanti.”

Yang terakhir kamu juga harus ingat, bahwa bergeraknya pensil karena dibimbing oleh tangan. Sama seperti hidup kita yang setiap detiknya digerakkan oleh kuasa Tuhan. Maka jangan sekalipun kamu melupakanNYA.”

Saat neneknya usai berkata – kata, Amara yang sedari tadi hanya terdiam mendengarkan kini ia terlihat kembali menengelamkan wajahnya yang mulai sayu dalam pangkuan neneknya itu. Lalu dengan penuh perhatian sang nenekpun membelai – belai cucunya itu hingga tertidur.

* * *

Jam di dinding menunjukkan pukul setengah Sepuluh malam. Amara baru saja diletakkan oleh neneknya di tempat tidur yang nyaman. Selimut tebal warna salju sudah memeluk Amara dengan rapih. Sesekali nenek itu membetulkan letak leher cucunya yang bertumpu pada bantal yang bercorak bunga – bunga sakura. Lalu ciuman kecil di kening gadis itupun akhirnya disampaikan sebagai ucapan salam sang nenek yang merindukan cucunya menemui mimpi yang terindah.

Selamat malam Amara..!”. Bisik sang nenek sebelum meninggalkan kamar Amara untuk melanjutkan pekerjaannya kembali.


* * *


(Kado Ulang Tahun)

Adhe

Boarding House, 12 August ‘08