Rock 'N Roll

Rock 'N Roll

Senin, 16 Juni 2008


Burungku


“Kemarilah nak!”. Tutur seorang ibu pada anak permpuannya yang tengah bermain.

Dan tanpa membantah si anak itupun segera menghampiri ibunya yang tengah menghitung uang recehan berbungkus plastik lusuh.

Perempuan tua itu adalah seseorang yang sudah bertahun – tahun menetap di kolong jembatan merah itu. Ia tinggal di rumah triplek bekas berukuran empat kali lima meter yang menempel pada dinding talud jembatan. Ia tinggal hanya berdua dengan anaknya yang masih berusia kurang lebih Sembilan tahunan. Sehari – harinya ia bekerja sebagai penjual kardus bekas yang ia kumpulkan dari pasar - pasar. Tidak banyak penghasilan yang ia dapatkan dari pekerjaannya itu. Terkadang seharian dia bekerja hanya cukup untuk membeli dua bungkus nasi. Namun baginya hidup dengan berupaya, lebih terhormat ketimbang harus meminta – minta apalagi mengambil hak yang bukan miliknya. Terlebih ia merasa lebih bersyukur meskipun setitik nikmat yang diberikanNYA. Bukan untuk berhura – hura apalagi dipamer – pamerkan.

“Lihatlah kedua ekor burung itu!”. Tunjuk sang ibu kepada anaknya kearah dua ekor burung yang sedang sibuk menyusun rangkaian rumah barunya di tepi sungai.

“Mana bu?”. Tanya si anak yang nampaknya masih belum mengetahui.

Dan tanpa mengulangi perkataannya, sang ibu itu kemudian menggendong anaknya dan membawanya ke tempat yang lebih tersembunyi dari pandangan burung itu.

Setelah ibu itu mendapatkan tempat yang lebih leluasa untuk mengamati tingkah laku burung itu, kemudia ia menunjukkan tangannya bermaksud menuntun penglihatan anak tersayangnya.

“Iiih..lucu sekali ya bu…!”. Ucap anaknya riang.

Namun sang ibu itu hanya diam saja seperti membiarkan anaknya terus mengamati burung itu.

“Bu, burung itu sedang bikin rumah ya!?”. Tanya si anak setelah mengetahui kedua burung itu yang terus pulang pergi dengan membawa rumput kering ke sebuah dahan.

Sekali lagi si ibu itu hanya terdiam. Kali ini ia hanya memberikan ciuman kecil di pipi anaknya yang polos.

“Nak…”. Kata ibu itu tiba – tiba.

Kontan anaknya yang masih dalam pangkuannya itu menoleh cepat kearah wajah ibunya yang tampak anggun tersapu angin siang.

“Kamu tahu tidak, kenapa burung itu bersusah payah membawa rumput kering dari seberang sungai ke dahan pohon kecil itu?”. Tanya ibunya disertai senyum yang begitu lembut.

“Tau!!”. Jawab anaknya.

“kenapa?”. Tanya ibunya lagi manja.

“karena burung itu mau bikin rumah yang bagus..”. Jawab anaknya

“Pintar..!!” Puji ibunya dengan ciuman lembut di pipi anaknya.

“Trus kenapa bikin rumahnya di atas pohon?, kan kalau dia tidur di rerumputan juga bisa!?. Tidak repot – repot bikin rumah.”. Tanya ibunya lagi.

“Iya ya bu..!”. Ucap anaknya mengiyakan.

“Burung itu sama seperti ibu. Dia bersusah payah hanya untuk sebuah tujuan”.

Kata ibunya.

“Sama juga dengan ibu tukang warung, sama juga dengan bapak ojek seberang jalan, sama juga dengan bapak guru yang setiap pagi melewati jembatan ini. Mereka semua bersusah payah mencari nafkah setiap hari dengan kemampuan ilmunya masing – masing. Seperti juga burung itu yang bersusah payah terbang kian kemari dengan menggunakan sayapnya. Seekor burung dengan sayap kecil tidak akan mampu terbang lebih jauh dan lebih tinggi. Sedangkan burung yang lebih besar akan melakukannya dengan mudah. Tapi kamu juga harus ingat, semakin burung itu terbang ke atas, maka anginnya akan semakin kuat”. Kata

ibunya lagi menambahkan.

“Kamu tahu tidak, apa yang menjadi tujuan burung itu bersusah payah terbang ke setiap tempat?”. Tanya ibunya melanjutkan.

“Tidak tahu..!”. Jawab anaknya polos.

“Karena…burung itu punya cita – cita ingin mendapatkan kenyamanan. Nyaman memiliki tempat tinggal yang aman dan membahagiakan. Nyaman dengan segala makanan untuk bertahan hidup. Sama seperti setiap orang dengan cita – citanya msing – masing”. Tutur ibunya.

“Lalu kamu tahu tidak, apakah burung – burung itu akan berhenti terbang setelah perutnya kenyang dan tertidur lelap didalam rumahnya yang bagus itu?”. Tanya

ibunya lagi.

“Burung itu akan bermain dengan teman – temannya bu”. Ucap anaknaya.

“Dan juga, burung itu akan merasa lelah lagi, lapar lagi dan berkeinginan untuk terbang lagi mencari sesuatu yang lain. Mungkin juga untuk membuat rumah baru lagi yang lebih cantik untuk anggauta keluarganya yang baru. Selalu begitu dan terus begitu sampai akhirnya si burung itu meninggal”. Tutur ibunya sambil

melihat anak tersayangnya yang terus menatap dirinya.

Sesekali ibu itu menciumi pipi anaknya lagi dengan perasaan yang lembut.

“Ketahuilah nak, suatu saatnya nanti kamu juga akan mencari cita – citamu dan berharap sukses sama seperti orang – orang. Dan kamu jangan sampai terjebak. Karena apa yang dikatakan oleh orang – orang tentang kesuksesan itu sebenarnya tidak ada”.

“Seperti burung itu yang terus berkeinginan setelah keinginannya tercapai. Dan sama dengan orang – orang yang akan tetap memiliki rencana lain dan cita – cita baru setelah dirinya meraih cita – cita dan sukses. Jadi dimana letak kesuksesan itu?,

Ibu itu sejenak terdiam. Matanya yang sayu terlihat lurus menatap bibir

- bibir sungai. Lalu iapun melanjutkan kata – katanya lagi.

“Sukses itu seharusnya menjadi akhir yang sempurna, menjadi puncak yang paling tinggi dan sakral. Dan cita – cita seharusnya terus berlanjut tidak terhenti pada kehidupan yang cuma beberapa tahun saja. Cita – cita harus sampai pada kesuksesan yang lebih abadi, nyaman, aman, dan tidak bisa diganggu gugat oleh apapun. Dan di dalamnya tidak akan ada rencana lain selain tentram dalam keabadiannya”.

“dan yang sering disebut – sebut sebagai kesuksesan oleh setiap orang itu sebenarnya hanyalah media, perangkat, sarana, atau merupakan alat bantu yang bisa memudahkan orang itu mencapai kesuksesan yang sejati dan abadi tersebut. dan kesuksesan seperti itu hanya bisa didapatkan setelah kita menghadap tuhan”.

“jadi..pelajarilah ilmu sebanyak – banyakanya sehingga kamu akan memiliki sayap yang lebih lebar dan bisa terbang jauh tinggi seperti burung besar itu. Dan sekali lagi jangan sampai terjebak. Berbuatlah dalam hidup ini hanya untuk beramal dan beribadah. Landasi semuanya dengan mata hati. Karena hal itu yang akan memudahkanmu mendapat kesuksesan yang sebenarnya. Cita – citakan dirimu menjadi orang yang selamat di dunia dan di akhirat. Jangan pernah mau kehidupanmu dimanipulasi oleh nafsu yang sering membutakan. Jangan pernah silau pada orang yang memiliki ilmu, tapi silaulah pada orang yang mengamalkan ilmu”.

Setelah ibunya menyudahi kata – katanya, gadis kecil yang mungil itu tampak semakin menenggelamkan wajahnya ke dalam pelukan ibunya. Kedua tangan kecilnya terus saja berkalung di leher ibunya sambil terpejam. Sesekali salah satu tangannya mengelus – elus pipi ibunya dengan sayang. Dan elusan itu dibalas oleh ibunya dengan belaian – belaian lembut pada rambutnya yang kering.

Sesaat keduanya tidak ada yang berkata – kata lagi. Angin siang yang semilir di kolong jembatan itu terasa bergerak halus seolah terbawa suasana seorang ibu yang tengah duduk memangku dan memeluk anaknya di pinggir bibir sungai.

“Bu, setelah dzuhur nanti, aku boleh ikut bermain di Madrasah kampung seberang ya bu!”. Pinta anaknya tiba – tiba.

Dan hanya dengan seulas senyuman dari ibunya, anak perempuannya yang masih kecil itu terlihat gembira seakan mengerti bahwa senyuman ibuanya itu merupakan restu yang ia harapkan.

“Terimakasih ya bu, aku ingin bermain dan melihat teman – teman belajar di madrasah”. Kata anaknya riang.

“Iya, tapi kamu harus janji, jangan sampai mengganggu belajar mereka ya!”. Pesan ibunya.

“Aku janji bu!”. Jawab anaknya bersemangat.

Tak henti – hentinya anak itu menciumi pipi ibunya dengan sayang.

“Memangnya apa yang mereka pelajari nak?” Tanya ibu itu sambil terus membelai rambut anaknya.

“Mereka belajar membaca tulisan arab, terus gurunya juga suka bercerita tentang nabi yunus yang dimakan ikan paus, teruss…, pokoknya banyak deh bu..!” Kata

anaknya menjelaskan.

“Kamu tidak dimarahi sama gurunya ikut belajar sama mereka?” Tanya ibunya

lembut.

“Tidak bu, kan aku cuma mengintip dari luar. Jadi aku tidak ketahuan…”. Ucap anaknya polos.

“Ya sudah…nanti sebelum kesana, kamu makan dulu ya!. Masih ada nasi bungkus yang ibu beli tadi”. Kat ibunya.

“Iya, tapi ibu juga ikut makan..!” Rengek anaknya manja.

“Iya, iya…, ini anak, sudah besar juga!” Jawab ibunya gemas sambil memberi cubitan kecil pada hidung anaknya yang manja itu.


***


“brak, bruk!!”.

Suara itu terdengar dari jatuhan tumpukan kardus yang dihempaskan oleh tangan mungil milik gadis kecil itu.

Tampak gadis kecil itu seperti sedang memilih – milih sesuatu diantara tumpukan kardus bekas yang telah dikumpulkan ibunya.

Setelah mendapatkan yang ia cari, kemudian iapun menghampiri ibunya yang tengah membersihkan beberapa lembar kardus yang ia dapatkan dari pencariannya tadi pagi.

“Bu, aku pergi dulu ya bu!”. Pamit anak itu pada ibunya.

Setelah mencium tangan ibunya dengan salam. Anak itu lalu berlari – lari kecil melompati jalan setapak dengan tangan kanannya yang memegang sebuah buku bekas yang ia temukan dalam tumpukan kardus tadi. Dan ia terus berlari meninggalkan ibunya. Ia bergerak menaiki tanggul memperlihatkan punggung mungilnya yang kian menjauh.

Tanpa ada yang terucap, ibu yang masih duduk di antara kardus – kardus bekas itu hanya mampu menatapi anak tersayangnya dengan lelehan air mata yang mengalir perlahan.

Ada ribuan doa dan harapan yang terbungkus rapi dalam sanubarinya. Tidak ada seribu kekuatan yang akan melenyapkan kasih sayang itu.

Karena engkaulah anakku yang menjadi cita – cita hidupku. Terbanglah dan terus terbang…semakin rentangkan sayapmu dan jangan takut. Karena sesungguhnya yang paling menakutkan adalah ketakutanmu sendiri. Jadilah seperti yang kamu inginkan, dan jadikan keinginanmu kelak sebagai media yang menghantarkanmu pada cita – cita dan kesuksesan yang abadi.

Amin…..!



Adhe

16-06-08 Yogyakarta.



Tidak ada komentar: