Rock 'N Roll

Rock 'N Roll

Minggu, 04 Mei 2008

BUS ANTAR KOTA


BUS ANTAR KOTA



Waktu itu sore sekitar jam duaan. Sayangnya aku lupa hari apa, tanggal berapa dan bulan apa. Yang jelas aku masih ingat saat berjualan di bus antar kota waktu itu.

Seperti biasanya, setiap kali aku selesai menawarkan dagangan, aku mencari bangku kosong yang belum terisi penumpang untuk duduk sambil menunggu bus yang aku tumpangi sampai di halte berikutnya.

Wuihh...nyaman sekali rasanya bila masih paruh hari seperti ini sudah mendapatkan hasil yang lumayan. Sambil duduk, perlahan akupun mulai menghitung uang yang ada ditanganku, jumlahnya tidak banyak. Tapi buat sekedar makan hari ini cukuplah. Mungkin keuntungan selebihnya aku sisakan untuk menabung. Fikirku waktu itu.

Baru saja sebentar aku masukkan uangku ke dalam saku, tiba – tiba saja kondektur bus menegur aku.

” Nuwun sewu lek, mbak’e iki ajeng linggih ” kata kondektur itu sambil memapah seorang perempuan muda yang baru naik.

” Ooo..inggih pak..monggo !” jawab aku mengiyakan.

Sopan sekali kondektur itu. Tapi buat aku kesopanan seperti itu seperti sesuatu yang wajar dan tidak berlebihan. Umpamakan saja bila kondektur itu lahir di daerah papua atau medan. Tentu ia akan berbicara atau bertingkah laku dengan kesopanan dalam bentuk lain. Karena setiap kelompok manusia di tiap daerah memiliki etika dan kesopanan menurut filosofi moyangnya masing – masing. Bagiku setiap orang dari suku dan golongan apapun ya sama saja. Etika dan kesopanan mereka itu hanyalah adat istiadat yang turun temurun. Pada dasarnya kesopanan yang sejati itu timbul dari kesadaran individu manusia itu sendiri tentang hal – hal baik. Bukan didapat dari apapun dan siapapun di luarnya.

Tidak berapa lama kemudian. Alah maak...ternyata bus itu tidak berhenti di halte yang aku maksudkan. Mungkin dikarenakan ada bus lain yang sedang parkir di sana. Yah mungkin sudah nasib aku harus mengulangi ruteku dari terminal.

Akhirnya akupun harus sabar berdiri menggelantung di antara tempat duduk penumpang. Dalam keadaan seperti itu tiba – tiba penglihatanku tertarik pada seorang ibu paruh baya. Umurnya kurang lebih seusia dengan ibuku. Ibu itu duduk tidak seperti umumnya penumpang lain. Ia selalu menunduk, seluruh mukanya tertutupi kerudung warna biru muda selaras dengan warna kebaya batik yang ia kenakan. Lama aku perhatikan ibu itu. Aku pikir dia ngantuk dan tertidur. Mungkin juga kecapekan atau apalah. Aku sendiri tidak begitu jelas karena posisiku empatpuluh lima derajat di belakang dia.

Uuuuoukkhh...uuuoukkhh..!!” tiba – tiba saja suara ibu itu menarik perhatian semua penumpang termasuk aku.

Rupa – rupanya ibu itu tengah mabuk kendaraan. Kepala ibu itu terlihat semakin menunduk ke bawah seperti ayam jago yang sedang minum air.

Kasihan sekali ibu itu ” batinku.

Muntahannya terus berulang – ulang tanpa dihiraukan oleh orang di sekitarnya. Akupun hanya bisa melihat tanpa bisa berbuat sesuatu. Sampai pada akhirnya bahuku seperti ada yang mencolek.

Kontan aku menoleh mencari orang yang mencolekku tadi. Ternyata kondektur bus itu langsung menyodorkan kantong plastik warna hitam berukuran mini. Dan hanya dengan isyarat kepalanya yang digerakkan aku langsung mengerti. Akupun mengasihkan kantung plastik itu pada ibu tadi.

Maaf bu, barang kali ibu butuh ini ” sodorku pada ibu itu.

Lalu ibu itupun menerimanya sambil menjawab.

” Matur nuwun...!” singkat sekali tanggapan ibu itu. Mukanya terlihat pucat. Sisi kerudungnya yang anggun seperti basah oleh air. Setelah menerima kantung plastik yang aku berikan, iapun kembali menunduk seperti ada sesuatu yang ia tutupi dengan rapat.

Lalu aku kembali pada posisiku semula. Berdiri, menggelantung, menenteng barang dagangan sambil sesekali melihati penumpang yang tampak jenuh oleh perjalanan. Namun tidak jauh dari tempat duduk ibu itu tampak pula seorang laki – laki muda yang tengah asik dengan MP3nya. Aku lihat anggukan kepalanya seperti mengikuti beat – beat musik yang ceria. Ia seperti tidak peduli dengan orang – orang sekitarnya, kepalanya terus mengangguk dengan kedua telinga yang disumpal phone kecil warna silver. Agak lama aku perhatikan dia, sampai – sampai aku lupa dengan keberadaan ibu yang tengah mabuk kendaraan tadi. Hehehe..aku jadi tertawa kecil dalam hati.

Hakikat manusia memang sendiri. Ia terlahir, menjalani hidup, mati, dan dikhisab oleh Tuhanpun tetap sendiri dan bertanbggung jawab atas dirinya sendiri. Mungkin dari rangkaian tadi hanya hidup yang paling istimewa. Karena dalam hidup manusia diberi kesempatan untuk mengenal sosialitas, dalam hidup ada perumpamaan keluarga dan kerabat. Dalam hidup manusia memiliki kasih dan sayang terhadap manusia lainnya. Meskipun pada hakikatnya tetap saja setiap hal yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya adalah demi ketenangan, kedamaian, dan kebahagiaan dirinya semata.

***

Sekitar jam tigaan, bus yang aku tumpangi itupun akhirnya sampai juga di terminal Giwangan.

Dari speaker aku mendengar petugas informasi terminal mengucapkan selamat datang dan mengabarkan bahwa penumpang telah sampai di terminal yogyakarta.

Aku menepi ke sudut belakang mendahulukan para penumpang agar turun lebih dulu. Setelah semua turun, akupun bergegas turun mengikuti penumpang – penumpang itu dari belakang. Lalu di antara kerumunannya aku berjalan menyusuri tangga alternatif menuju masjid yang terletak tepat disamping area parkir pendatang.

Sesampainya di masjid, kembali aku dikejutkan oleh ibu yang mabuk dalam perjalanan tadi. Sepertinya ibu itu tidak lekas melanjutkan perjalanannya agar bisa cepat sampai kerumah. Aku lihat ibu itu terguling di serambi masjid. Ia nampak sangat kelelahan. Kerudungnya yang kusut menutupi sebagian wajahnya yang terpejam. Sesekali aku mendengar suara ibu itu lirih mengucap syukur.

Alhamdulillah ya Allah...Alhamdulillahirobbil alamiin..!” ucapan ibu itu membuat aku tertegun. Matanya terus terpejam, dan bibirnya yang kering sedikit terbuka diakibatkan ganjalan lengan kanannya yang ditekuk sebagai bantal.

Tiba – tiba aku teringat ibuku, kakak permpuanku, dan adik – adik perempuanku.

Pemandangan seperti ini sempat membuat aku tidak nyaman, bulu kudukku tiba – tiba berdiri. Aku tidak mengerti maksud dari semuanya.

Sejenak kemudian aku mendengar kembali ibu itu berkata sendirian.

” Alhamdulillah ya Allah..kulo tesih di kei keselametan..” maksud ibu itu dia bersyukur karena masih diberi keselamatan.

Mungkin ibu itu merasa telah lepas dari sebuah masalah besar, dan semua yang dia anggap penderitaan dan kekuatan untuk menghadapinya semata – mata karena kasih sayang Tuhan jua. Dia kini merasa lebih aman dan lebih nyaman meski baru sampai di msajid terminal. Lalu kebahagiaan seperti apa yang akan dia dapatkan jika benar – benar telah sampai tujuannya?, sedangkan baru sampai di peristirahatan saja dia begitu merasa bahagia sekali. Subahanallah...aku tidak bisa menggambarkan kabahagiaan ibu itu nantinya.

Sejenak aku berfikir..mungkin dikarenakan ibu itu mendapatkan kesengsaraan, penderitaan, dan kendala sepanjang perjalanan. Sehingga ia sadar bahwa yang dibutuhkannya adalah Tuhan, karena ia juga mungkin sadar bahwa segala sesuatu itu bermula dan berakhir hanya pada kuasaNYA. Maka sangat wajar apabila ibu itu mendapat kebahagiaan yang sangat istimewa saat bisa melewati penderitaan – penderitaan itu. Ialah kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan seorang manusia yang selalu diingatkan oleh Tuhan untuk tetap bersyukur. Kebahagiaan seorang pejuang yang seharusnya bangga atas kemenangan – kemenangannya.

Tapi...aku juga jadi berfikir pada laki – laki muda yang sepanjang perjalanan tadi selalu asik dengan musik – musik MP3nya itu. Andai saja aku menanyakan sesuatu kepadanya seperti ini...

” Mas, apa yang anda rasakan setelah menempuh perjalanan dari solo ke jogja tadi ?”

Tentu dia akan menjawab.

” Ah biasa – biasa aja, aku nggak ngerasain apa – apa tuh..!”

Mungkin jawaban seperti itu sangat wajar. Atau malah mungkin dia sama sekali tidak merasakan apa – apa karena memang tidak ada keistimewaan dalam prjalanannya itu.

***


Tidak terasa hari semakin sore...perlahan – lahan mataku terasa hangat.

Terimakasih ya Allah, engkau telah memberi aku alasan untuk tidak menyerah apalagi malu dengan segala perjuanganku, penderitaanku, dan perjalanan hidupku.

Bagiku Tuhan sudah sangat jelas menyampaikan pesannya melalui perumpamaan peristiwa ibu paruh baya dan laki – laki muda tadi. Bebal sekali jika aku terus menutup diri dan tidak bisa mengambil inti sarinya.

Sebentar aku melihati ibu itu sudah tertidur dengan nyaman sekali. Ujung – ujung kerudung cantiknya kini sudah mulai mengering dan sesekali bergerak. Angin sore itu terasa lebih lembut dari sebelumnya. Setiap hembusannya menyerupai belaian anak kecil yang mengelus pipi ibunya dengan sayang. Andai saja ketenangan seperti ini akan bertahan selamanya...

Keadaan semakin hening. Lalu akupun bangkit dari duduk dan melangkah menyusuri teras masjid menuju ke tempat wudhu pria.

Selamat menunaikan ibadah sholat ashara ya dhe...!”



Yogyakarta ??-??-2005

Adhe.

Dont 4get me !


Dont 4get me !


Langit cerah…warna biru siang ini begitu mempesona. Angin perbukitan yang sejuk terus bermain di sela – sela daun pinus. Matahari terlihat samar – samar seperti silau oleh cahayanya sendiri. Di tepi bukit di atas rumput hijau nampak seorang bocah kurus termangu memandangi jurang – jurang dan dataran yang terhampar luas di hadapannya. Nama bocah kecil itu Awan. Awan adalah seorang bocah yang kesepian. Setiap harinya dia diasingkan oleh teman – teman sepermainannya. Kejiwaan Awan semakin hari semakin tidak stabil. Mungkin karena usianya yang terlalu dini dan sensitif. Sehingga apapun yang dilakukan oleh orang tuanya untuk menghibur dia tidak pernah berhasil. Hampir setiap hari seluruh waktunya terbuang di tepi bukit ini. Sendirian, dan selalu sendiri. Pada saat – saat seperti ini tidak jarang dirinya merasakan kerinduan yang teramat dalam. Rindu tentang gelak tawa, rindu tentang persahabatan, rindu tentang semua orang yang mau menghargai dirinya.

Satu dua daun – daun kering terjatuh dari tangkainya seolah jemu bermahkota. Pucuk – pucuk pinus meliuk – liuk indah menyerupai penari balet yang sedang pentas. Suara angin menggesek dahan – dahan begitu menyayat merdu laksana biola sang seniman. Keadaan bukit itu tetap saja sepi, sesepi suasana hati seorang Awan dan kerinduannya. Namun tak berapa lama kemudian Awan kecil itu mulai bangkit dan meninggalkan tempat duduknya. Kakinya yang hitam telanjang menyusuri jalan setapak menuju sebuah taman dimana ia bisa membuang rasa sepinya.

Namun alangkah malangnya nasib Awan sesampainya di taman bukit itu. Ternyata kehadirannya adalah perusak bagi segenap penghuni taman. Dan Awan kecil hanya terdiam melihati mereka yang bergerak meninggalkan bukit menuju lembah pinggir hutan. Sebagian ada yang terbang, sebagian lagi melata, bahkan ada pula yang menyusup ke balik semak – semak.

Ya tuhan..ada apa ini ?” gumamnya tak mengerti.

Awan masih saja terdiam diantara bunga – bunga taman itu. Fikirannya mengambang seolah tak ada sesuatu yang bisa ia simpulkan. Beberapa saat kemudian Awanpun mulai meninggalkan taman itu dengan berfikir bahwa ia harus melakukan sesuatu.

***

Esok harinya seorang Awan kecil kembali mendatangi taman itu. Di kanan kirinya tergenggam jurai – jurai gandum dan padi yang dibawanya dari rumah orang tuanya. Sepanjang perjalanan ia melambai – lambaikan jurai gandum dan padi yang ada ditangannya itu. Ia memanggili setiap ada yang melihatnya.

Woooii...!” berkali – kali Awan berteriak lantang dengan harapan bisa menarik perhatian mereka.

Seketika merekapun bergerak kearah Awan. Begitu riangnya perasaan seorang Awan saat itu. Iapun berlari mengajak mereka kearah taman. Sesampainya di taman, Awan kecilpun mulai mengikhlaskan jurai demi jurai gandum dan padinya pada mereka yang bergerombol. Tampak sekali mereka saling berebut. Bahkan diantaranya seperti tidak merasakan risih lagi untuk berdekatan dengan Awan. Ada pula yang hinggap di bahu dan lengannya. Betapa bahagianya perasaan Awan saat itu, sampai – sampai ia lupa dengan kejadian kemarin. Lalu sambil tersenyum Awanpun berkata dalam hatinya sendiri.

” Ooo...inikah caranya..?”

***

Esok harinya lagi, Awan bergegas kembali ke taman bukit. Kali ini tidak hanya jurai gandum dan padi yang ia bawa. Namun iapun membawakan daging dan buah – buah segar untuk mereka yang tidak suka makanan yang ia bawakan sebelumnya.

Keceriaan seperti kemarinpun terulang lagi. Bahkan kali ini Awan kecil benar – benar merasakan kebahagiaan yang lebih. Keriangannya semakin sempurna. Karena kawannya kini bukan hanya burung – burung atau unggas – unggas hutan saja. Tapi juga beberapa ekor ular, singa, bahkan monyet yang lucupun ikut pula hadir di taman itu. Tak bosan – bosannya Awan kecil bermain dan tertawa dengan mereka yang ada di sekelilingnya. Hingga pada saatnya ia terfikirkan akan keberadaan bunga – bunga yang ada di sampingnya. Lalu iapun berkata seperti ditujukan pada bunga itu.

” Tunggu aku besok ya..!” ucapnya.

***


Esok sorenya lagi. Seorang Awan kecil sudah berada di taman bukit itu dengan segala sesuatu yang ia bawa dari rumah orang tuanya. Seperti biasa ia memberikan bawaan makanan untuk kawan – kawannya itu. Lalu ia biarkan kawan – kawannya itu berkumpul dan bermain dengan kawanannya masing – masing.

Sesaat kemudian terlihat Awan mulai bergerak menyelinap di antara belukar menuruni lembah. Di tentengnya dua ember kayu bermaksud untuk mengambil air dari sumbernya di bawah sana.

Tidak lama kemudian Awan sudah muncul lagi di taman itu dengan dua ember kayu yang terisi penuh dengan air bening.

Dan di antara canda riang kawan – kawannya itu, Awan mulai menyirami setiap bunga yang ada di taman bukit. Satu persatu ia datangi bunga – bunga itu dengan penuh perhatian.

Seusai menyirami, Awanpun lalu membersihkan sekelilingnya dengan tangan, memberinya pupuk kandang, dan memetik daun – daun kering yang merusak keanggunannya. Awan kini merasa puas dengan pekerjaannya, ia tidak lagi merasa khawatir ditinggalkan kawan – kawannya.

Matahari sore terus merambat pelan memulasi langit barat dengan warnanya yang elok. Sementara seorang Awan kecil tampak masih betah bercengkerama dengan bunga – bunga yang ada di sekitar taman bukit itu. Sesekali tangannya mengelus lembut kelopaknya yang indah, menciumi harum parfumnya yang semerbak. Baginya kini tak ada lagi kakhawatiran yang berarti. Ia hanyut, terlena, dan akhirnya iapun tertidur pulas di antara bunga – bunga itu.

***


” Aduh..!!”tiba – tiba saja Awan tersentak dan terjaga dari tidurnya.

Rupa – rupanya rintik air langit telah menetes tepat di wajahnya yang tengadah.

” Dimanakah aku??” bingungnya dalam hati.

Sesaat kedua tangan Awan mengusapi kedua matanya yang masih nanar.

” Taman ini sepi..” batinnya.

Suasana di sekelilingnya begitu gelap. Menatap langitpun seperti sia – sia. Disana sama sekali tidak ada cahaya yang bisa dijumpai. Semua ruang seperti kosong. Hatinya tiba – tiba merasa takut karena tidak bisa melihat apa – apa lagi.

Beberapa saat lamanya Awan kecil kebingungan, hingga pada akhirnya iapun mencoba bangkit. Tangannya berusaha meraba – raba kian kemari. Namun tetap saja ia tidak menemukan apa – apa. Yang ada hanya kegelapan dan kesunyian.

” Dimanakah bunga – bunga itu ?” katanya sambil terus membelalakkan mata berharap bisa menemukan.

” Wooooii....!!” kali ini Awan seperti benar – benar takut dengan keadaannya. Ia begitu keras memanggil – manggil.

” Wooii buruuung..., ayam.., singa..., monyet, ular.., dan siapapun yang mendengarnya.., tolong aku...!!” teriaknya berharap ada salah satu kawannya yang mendengar.

” Tolong aku kawan...aku tidak tahu jalan..!!” ucapnya mengulangi.

Namun tetap saja teriakannya hanya berbalas sunyi. Sebentar kemudian Awan bergerak perlahan tanpa tahu harus kemana. Dan pada saat kebingungan dan ketakutannya seperti itu ia tiba – tiba saja menjerit kesakitan.

” Aduh..!!” teriaknya spontan.

Kakinya terkilir menginjak sebuah lubang. Ia terjatuh di atas tanah lembab. Lalu dengan cepat ia memijat – mijat kakinya sendiri. Namun semakin dipijat sakitnya semakin terasa nyeri dan ngilu. Seperti menyerah lalu Awanpun terdiam sesaat dan berfikir.

“ Ini bukanlah taman yang aku singgahi tadi sore, lalu…dimanakah aku sebenarnya ?” ia terus berfikir terheran – heran.

“ Ya tuhan…berilah aku petunjuk jalan “

Tolong aku tuhan, aku ingin pulang..” mohonnya dengan nada memelas.

Awan masih saja terduduk. Gerimis hujan tidak berubah. Butiran airnya yang rintik – rintik kecil menambah kegundahan hati seorang Awan kecil saat itu. Lagi - lagi ia menengok ke sekelilingnya, namun tetap saja keadaan tidak berubah. Disini tidak ada bunga, disini tidak ada burung, unggas, atau apapun yang dianggapnya sebagai teman. Ia hanya bisa menunduk lesu dan berusaha untuk sadar bahwa ia kini telah sendiri.

” iya..aku sekarang sendiri..” ungkapnya pelan.

Perlahan namun pasti iapun mengangkat batu yang menjadi tumpuan kedua tangannya.

” Trat..Trat..!!” percikan api itu muncul dari antara batu yang ia bentur – benturkan.

Sekali tak berhasil, dua kali tak berhasil, dan ketiga kalinyapun tetap tak berhasil. Namun Awan seolah tak menyerah untuk mendapatkan api sebagai penerangannya sendiri. Semakin lama mencoba, semakin lemah pula semangatnya. Akhirnya iapun putus asa dan menyerah. Lalu ia berbaring lagi di atas tanah lembab yang kotor.

“ Oh ibu..tolong aku ibu..!!” rintihnya pasrah dengan kedua tangan menutuupi wajahnya yang semakin sedih.

Suasana semakin hening dan gelap. Awan kecil semakin tidak bisa berbuat apa – apa dengan keadaannya.

Cukup lama ia terbaring dalam ruang gelap itu. Hingga akhirnya iapun perlahan – lahan membuka mata dan berusaha untuk duduk kembali.

Tiba – tiba saja ia seperti dalam mimipi. Antara tidak percaya dan rasa gembira ia terperangah menatapi obor yang tengah menancap di ujung kakinya.

Dalam ketakjubannya tiba – tiba ia disentakkan oleh suara seorang wanita.

” Raihlah nak...!”

Betapa kagetnya ia mendengar suara yang sepertinya keluar dari sinaran api obor itu.

Gapailah obor ini, dan mari kita pulang..!” suara itu terdengar kembali.

Masih dalam keadaan tidak percaya, Awan lalu berkata menimpali.

Sepertinya kamu bisa berbicara..!?” katanya dengan heran.

Hanya engkau sendiri yang membuat oborku berbicara nak..” jawab obor itu lembut.

” Apa maksudmu?” tanya Awan lagi.

“ Karena aku adalah kasih sayangmu yang sejati.” Jawab obor.

Setelah berfikir sejenak Awan lalu berkata kembali.

“ Kalau memang engkau kasih sayangku, kenapa engkau tidak hadir saat aku

memanggil – manggil dan butuh pertolongan ?” ucap Awan.

“ Sesungguhnya aku selalu ada di sisimu di setiap waktu dan setiap musim.

Dimanapun engkau berada anakku...” Tuturnya bersahaja.

” Lalu kenapa kamu tidak menerangiku saat aku terjebak dalam kegelapan ini?”

Tanya Awan lagi.

” Karena engkau terlupa untuk menyalakannya.” jawabnya singkat.

Menyalakan..?? menyalakan bagaimana ?” Tanya Awan semakin tidak mengerti.

Kali ini obor itu terdiam tak mengeluarkan suara lagi. Suasanapun menjadi hening sesaat. Hembusan angin yang spoi – spoi tiba – tiba saja memadamkan nyala obor itu. Seketika suasana menjadi gelap dan mecekam. Dan bersamaan dengan itu Awan merasa kaget dan sangat takut sambil menjerit spontan tanpa sadar.

” Ibu..!!” jeritnya.

Namun alangkah lebih kagetnya lagi, setelah jeritannya itu tiba – tiba saja obor itu menyala kembali seperti semula.

” Ibu...” lirih Awan dengan nada yang sangat pelan.

Sejenak Awan tertegun dengan bibir bergetar dan kelopak matanya yang mulai menghangat. Dan seketika itu juga air matanya mengalir pelan, ia teringat akan seseorang yang tidak asing dalam hidupnya. Dialah seseorang yang sering dilupakan kehadirannya. Namun dia pula yang selalu ada untuk hidupnya.

Iya...ini ibu nak, ini adalah kasih sayangmu. Ini adalah cinta ibumu.do’a keselamatanmu.” Ucap sang obor itu terdengar seperti menahan tangis.

Dengan perlahan Awanpun meraih obor itu dan memeluknya erat. Jilatan apinya sama sekali tidak memberikan rasa sakit terhadap wajah Awan. Karena nyala obor itu bukanlah untuk menyakitinya, namun untuk menerangi jalannya menuju ke arah pulang.

” Terima kasih Ibu..”



Yogyakarta – Malam Idul Adha – 2004


Adhe.