Rock 'N Roll

Rock 'N Roll

Selasa, 29 Desember 2009

Penggalan Novel 'Lemah wangi' (the 1st work)


Pada barisan jamaah perempuan, Putri Kinanthi bersalaman dengan sesekali menengok pada sahabatnya yang gelisah. Mereka berdua masih mengenakan mukenah, sajadahnya tenggelam dalam dekapan masing-masing. Dan pada akhirnya mereka memisahkan diri lalu pergi dengan langkah pelan.
“Aku mencium bau mayit.” Ucap Kinanthi pada Fauz Lin seraya berjalan.
“Mayit?”
“Iya.”
Sebentar Fauz Lin penasaran berusaha menajamkan penciumannya. Dengan kedua tangannya menggulung sajadah, ia berkata:
“Hidung kamu perlu dibawa ke dokter.”
Kinanthi mesem, “Bau mayit itu tidak akan pernah tercium oleh hidung kamu.” Katanya.
Fauz Lin bertanya heran, “Kenapa?”
“Karena mayitnya ada di sini.” tampak Kinanthi menempelkan telapak tangannya pada dada Fauz Lin. Kemudian ia menjauhkan tangannya kembali: “Tadi hati kamu mati. Di sekeliling kamu banyak orang tapi hati dan pikiran kamu entah ke mana?” ucapnya.
Demi kemengertiannya atas gurauan Kinanthi, Fauz Lin menampakkan senyum dengan kedua pipi memerah. Lantas, ia pun mendengar Kinanthi berbicara kembali:
“Kalau hanya untuk menunggu datangnya amplop tipis berwarna putih, di warung pak Zul Aku pikir lebih banyak kapanpun kita mau.”
Sekali lagi, Fauz Lin dibuat tersipu malu oleh sahabatnya. Sikunya yang berdempet dengan siku Kinanthi spontan digerakkan, dan, tubuh Kinanthi yang berjalan di sampingnya menjadi sedikit terguncang lalu merekapun tertawa bersamaan.
Ah, kata siapa malu itu tidak indah?

Written by; Adhe Su Herman

Penggalan Novel 'Lemah Wangi' (the 1st work)


Sementara Muzdalifah yang masih mengganjalkan jempol kakinya pada kaki meja itu tampak turut tersenyum-senyum mendengar obrolan keduanya. Muzdalifah begitu merasa terhormat kedatangan dua tamu tersebut. Karenanya ia merasa sangat senang. Menurut adiknya, Siti Arofah, kedua tamu itu sangat pintar dalam urusan mengajar Al-Qur’an. Bahkan, Muzdalifah sempat merasa malu ketika si adik bermata belo itu menjelaskan kepadanya mengenai definisi betapa indahnya belajar membaca Al-Qur’an. Waktu itu Siti Arofah menuturkan; “Dalam kata ‘masjidun’ cuma ada empat huruf; ma, sin, jim, dan dal. ‘Ma’ berarti; tempat. Sin, jim, dan dal satu kalimat yang dibaca ‘sajada’ aritinya; bersujud. Jadi; masjidun itu berarti; sebuah tempat untuk bersujud. Begitu kata Kak Alin sama Kak Anthi!” Duh Ampun, ingin sekali saat itu Muzdalifah turut serta belajar mengaji bersama adiknya. Tapi, perasaan tidak pantas membuat hasratnya harus disimpan baik-baik. Siang ini, Kak Anthi maupun Kak Alin yang diceritakan adiknya tersebut tengah berada di hadapannya. Berkunjung seraya menyantap kue bikinannya. Alangkah gembiranya hati Muzdalifah menyadari hal tersebut. Ditambah ketika Kak Alin berbicara memuji:
“Enak sekali kue koci kukusnya. Bumbu kelapanya sagat manis dan gurih. Bolehlah berbagi resep…?!” katanya tersenyum menggoda.
“Lifah juga diajari Umi, Kak.” Elak Muzdalifah malu-malu.
Lalu Kinanthi menyambung:
“Apapun yang kita dapat itu semuanya dari Umi, Emak, Bapak, Abah, atau Mama. Toh mereka juga sama seperti kita-kita sekarang. Mendapat pengetahuan ya dari orang-orang tua mereka juga, kan?!” katanya.
“Betul Nona. Seratus buat kamu. Tapi…” sebelum Fauz Lin melanjutkan, Kinanthi buru-buru menengadahkan tangan. Fauz Lin yang mengerti maksud sahabatnya meralat sambil menahan tawa:
“Seratusnya tidak jadi. Bisa bangkrut lama-lama kalau begini caranya.”
Tangan kiri Kinanthi mencubit lengan sahabatnya , lalu merekapun tertawa bersamaan.
Muzdalifah berkhayal; seandainya saja dirinya kelak menjadi bagian dari mereka? Ah, betapa senangnya bercanda tawa dengan penuh keakraban yang sangat manis. Tapi, khayalan-khayalan seperti itu kemudian meragukan kemungkinannya. Muzdalifah merasa, selama ia tumbuh dewasa dan menjadi bagian dari masyarakat kampungnya tidak ada satupun komunitas anak sebayanya yang menampilkan peran. Adapun kehadiran Fauz Lin dan Kinanthi hanya baru beberapa bulan setelah mereka tidak pernah ada di desa ini. Mungkin, pengaruh yang dibawanya dari luar desa memancing keberaniannya untuk menembus batas-batas sosial yang memisahkan antara kaum perempuan dengan laki-laki; mereka cenderung takut-takut. Untunglah, sekembalinya Kyai Ma’ruf dari perantauannya di daerah Lampung sana dapat mengubah sedikit penerimaan ide serta gagasan Fauz Lin maupun Kinanthi. Muzdalifah percaya, dibawah kepemimpinan Kyai Ma’ruf akan lebih mewadahi aspirasi yang muncul ketimbang Kyai Bashiron yang terkesan kolot dan keukeuh akan sikap anti pemikiran baru. Muzdalifah bertanya dalam hati; “Apa mungkin saya bisa seperti mereka? Bersosial, dan berperan?” di dalam hati Muzdalifah masih belum begitu yakin akan perubahan yang dilakukan oleh pemuda-pemudi di kampungnya. Muzdalifah tahu, sudah begitu banyak generasi-generasi baru yang sudah menamatkan pendidikan tinggi di desanya. Tapi, apakah pendidikan itu bisa dikatakan cukup untuk merubah pola kekolotan desanya? Ataukah tujuan pendidikan itu hanya sebatas untuk menyelamatkan masing-masing diri? Muzdalifah jadi teringat kata-kata Akhwan ketika dirinya menyarankan Akhwan untuk turut bermusyawarah di Masjid. Ketika itu, Akhwan berbalik menyarankan; “Kamu masih kecil. Jangan terlalu turut campur memikirkan permasalahan desa ini. Tidak ada untungnya samasekali.” “Mungkin ada benarnya kata Kak Akhwan.” bisik hati Muzdalifah. Tak sadar, nama sepupunya yang baru saja diucapkannya dalam hati begitu saja meluncur, tanpa beban, dan baru terasa setelah ia berpikir-pikir akan sikap Akhwan yang sudah membuatya resah. “Duh…” Demi menghargai kedua tamunya, Muzdalifah segera menyimpan kegelisahannya yang tiba-tiba muncul tersebut. Seraya bersuara menghilangkan lendir di tenggorokan, Muzdalifah membereskan letak duduk lalu kembali menghadapi Fauz Lin dan Kinanthi.
Sementara itu, Fauz Lin yang sempat menunda perbincangan menegur Muzdalifah dengan berkata:
“Seharusnya kamu bersyukur punya Umi yang begitu tauladan pada anaknya. Kalau dipikir-pikir, hanya resep-resep warisan seperti ini yang kita dapatkan dari mereka. Selebihnya…??” kedua mata Fauz Lin melirik pada sahabatnya, Kinanthi.
Lalu Kinanthi menyambung:
“Selebihnya ada di sini, dan di sini!” ucapnya seraya mengarahkan jari telunjuk pada pelipis lalu berpindah ke dada.
Fauz Lin sanang sekali jika sahabatnya sudah mulai terpancing untuk mengeluarkan pendapat-pendapatnya. Karena tanpa disadari oleh Kinanthi, dirinya telah begitu banyak mengasah kepekaan dari penuturan-penuturan sahabatnya itu. Hingga, dalam beberapa saat, baik dirinya maupun Muzdalifah tidak ada yang bersuara untuk menunggu penuturan Kinanthi.
Selesai meneguk air putih dari gelas bening, Kinanthi lalu berujar:
“Membuat kue itu ibarat sebutir serpihan gergaji. Sebenarnya jauh lebih banyak yang dituturkan oleh orang-orang tua kita dulu. Pendidikan moril contohnya. Orang-orang tua kita begitu luwes menyampaikan maksud baiknya melalui perumpamaan-perumpamaan meski tidak jarang terlalu susah diterima akal.” “Apa yang dilakukan oleh orang-orang tua kita, dalam mendidik dengan cara mereka sendiri, itu bukanlah sebuah metoda yang tanpa alasan. Baiklah aku setuju, jika orang-orang tua kita mengatakan; ‘Anthi! Jangan makan brutu! Nanti kamu bisa menyesal di belakang.’ Memang orang selalu menyesal dibelakang, dan itu kedengarannya naif dan terkesan membodoh-bodohi. Bahkan kemungkinan besar orang tua yang berkata seperti itu hanya didasari oleh sikap takut akan ‘pamali’ terhadap orang tuanya. Tapi, kita yang lebih diperkenalkan dengan ilmu pengetahuan, tidak juga pantas mengatakan itu naif dan bodoh. Melainkan kita mesti lebih bijak menghormati kata ‘pamali’ tersebut.”
“Contohnya?” tanya Fauz Lin.
Kinanthi melanjutkan:
“Kata ‘pamali’ memang bukan larangan dari Tuhan. Itu hanyalah kata ganti untuk dosa adat. Tapi jika itu dilanggar, kita sudah termasuk membuat kesalahan berkali-kali. Pertama kita tidak mau tahu dengan metoda pendidikan luhur orang tua kita, yang kedua kita menjadi tidak takut lagi untuk berbuat kurang ajar terhadap orang tua, dan yang ketiga, yang paling parah, kita sebagai generasi telah membunuh habis citra kita sebagai bangsa yang bercorak. Kalau sudah demikian, apakah nanti ada yang bisa membedakan mana orang Lemah Wangi, mana orang kota yang menjajah tradisi?”

Written by; Adhe Su Herman

Penggalan Novel 'Lemah Wangi' (the 1st work)


Saat ini, Fauz Lin sudah tidak lagi menjadi santri. Dirinya sadar akan identitas baru sebagai mahasiswi yang bakal menemui realita hidup yang baru pula; cara pandang, pergaulan, kemandirian, sosialisme, dan pola pikir yang mau tidak mau akan tergesek pula oleh suasana yang benar-benar berbeda dengan kesibukan pesantren. Tapi Fauz Lin jauh lebih sadar untuk stabilisasinya dikemudian hari. Ia bersyukur, sedari kecil hingga dewasa terdidik di lingkungan pesantren. Menurutnya, pendidikan A-gama merupakan dasar yang paling penting untuk melangkah kedepan sejauh apapun, oleh karena itu haruslah sekuat mungkin. Pada pendapatnya, tujuannya pendidikan A-gama tidak lain sebagai pengendalian kinerja dan pengetahuan diri agar tidak ngamprah. Setiap ia berbicara soal itu, dirinya langsung teringat akan sahabatnya Kinanthi. Kinanthi pun pernah berbicara; “Jauh sebelum invasi kolonial, Indonesia sesungguhnya memiliki metode belajar yang sangat agung.” Kata Kinanthi kala itu. “Sebut saja Pesantren-Pesantren dan para Empu yang menyediakan pewaris tahta yang digdaya. Mereka menerapkan pola didik yang menekankan pada dasar moril yang kuat. Pada ungkapan mereka, seorang raja tidak hanya sebagai pemegang kuasa. Akan tetapi sebagai media penghubung antara mikrokosmos dan makrokosmos; manusia dan alam semesta. Bisa diartikan, pola didik yang diberikan oleh bangsa kita bisa sampai delapanpuluh persen seputar kebatinan dan kesadaran sebagai manusia akan fungsi dan tujuannya. Selebihnya adalah skill, pengetahuan umum, dan politik. Jelasnya, keruntuhan Wilwatikta merupakan awal bencana bagi pola didik leluhur itu. Seperti yang tercatat dalam sejarah, Ki Hajar Dewantara menentang dengan sistem pendidikan yang diterapkan oleh barisan kolonial tersebut. Tapi apa yang bisa dikatakan oleh negeri yang terjajah? Kita tidak lebih hanya tidur selama berabad-abad, jikapun melek sedikit hanya menunggu disuapi, bahkan hingga sekarang. Jadi tidak patut dipersalahkan jika orang-orang berakal hebat tidak bisa berprilaku baik terhadap negaranya sendiri. Karena itu hanya sebagian hasil dari sistem pendidikan yang keliru, sistem didik yang minim pendidikan moril.”
Untuk pertama kalinya Fauz Lin merasa tersinggung pada pernyataan Kinanthi yang menyerempet keruntuhan Majapahit. Ingin sebenarnya kala itu ia melepas unek-uneknya dan mengatakan; “Bukannya keruntuhan Majapahit adalah kebijaksanaan para dewan Wali Jawa!? Untuk Islam!? Untuk Indonesia juga agar lebih demokratik!? Menebas habis tiran dan kelas-kelas!?” tapi saat itu ia merasa sangat ragu juga takut, salah-salah sahabatnya akan mengira ia telah menyudutkan pengetahuannya. Beruntungnya, Kinanthi tanggap dengan pernyataannya sendiri. Saat itu Kinanthi menambahkan;
“Raden Patah, tidak cukup mampu mengembalikan kejayaan si Jaka Umbaran. Akibatnya, si kutubusuk Blambangan itu dengan begitu saja mengambil alih Nusantara di bagian Melaka. Dan itu, sudah menjadi celah bagus untuk Londo-Londo rakus itu merangsek masuk ke wilayah kita.”
“Wirabumi?”
“He’ehm.”
“Owhh…”
“Hmmh…berat rasanya jika membayangkan peristiwa pada masa itu. Aku bisa merasakan bagaimana pucat pasinya orang-orang kita saat itu. Apa-apa yang menjadi hak justru dirampas. Tidak hanya hasil bumi, tapi juga tradisi dan kebudayaan dalam hal mendidik generasi, mereka hilangkan. Mereka bilang itu tidak gupermen, kurang maju, tidak pas, kurang apalah. Padahal…”
‘Yahh…itulah Anthi, sahabat terbaikku, bahkan tersayangku’. ‘Hmhhh…’ sungguh berat memang dada Fauz Lin untuk mengenang tentang sahabatnya itu. Jika saja dirinya berani berkata lancang terhadap kedua orang tuanya, ingin dia mengatakan; “Bah, kenapa Anthi tidak turut saja masuk ke IKIP bersama Alin? Setidaknya Alin tidak akan terjauhkan dari Anthi. Abah bisa kan membiayainya?” Tapi itu dirasa sangat tidak mungkin. Fauz Lin paham akan kebijakan ayahnya. Kinanthi hanya orang lain, sewaktu-waktupun akan menjadi orang lain, itu menurut ayahnya. Adapun kebaikannya menyekolahkan Kinanthi sampai Madrasah Aliah di Pesantren tersebut hanya sebatas ucapan terimakasih. Pernah Fauz Lin bertanya pada ibunya seputar kebaikan ayahnya menyekolahkan Kinanthi itu. Kala itu ibunya menjelaskan; “Pak Guntur itu, Nok, orang yang pertama kali mempercayai Abahmu. Beliau seorang pemborong yang sukses. Dari pak Guntur pula Abahmu banyak belajar mengenai pekerjaan. Jadi ya…, sudah sepantasnya saja Abahmu berterimakasih untuk membiayai anaknya bersekolah ketika pak Guntur sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Begitulah Nok Alin, ceritanya…!”
“Pemborong kan banyak uangnya, Umi? Kenapa pak Guntur sampai tidak bisa menyekolahkan anaknya?”
“Hmhh…” “Tidak baik membicarakan permasalahan orang lain. Umi pikir pertanyaan kamu sudah cukup terjawab.”
Hanya sebatas itu Fauz Lin memahami kebijakan ayahnya. Sangat disayangkan seorang Kinanthi yang begitu hebat dalam anggapannya harus mendekam dalam kabut misteri keluarga. Seringkali Fauz Lin ingin mengetahui banyak hal akan permasalahan keluarga sahabatnya itu. Tapi sepertinya waktu belumlah tepat. Salah-salah hal itu membuat sahabatnya tersinggung, dan Fauz Lin tidak mau hal seperti itu terjadi. Pada akhirnya, Fauz Lin hanya bisa menghela nafas pelan, dan sesekali berdoa; “Semoga Allah memuliakan orang-orang yang berilmu seperti kamu, Anthi.”
Disamping Kinanthi, masih ada Akhwan yang selalu mengisi khayalannya. Si pemuda yang sarat dengan teka-teki. Ahh…apa saja sebenarnya yang ada di dalam pikiran si pemuda itu? Sampai saat ini Fauz Lin belum begitu paham akan sikap Akhwan terhadap dirinya. Mungkin ada benarnya kata sebagian penyair; asmara, merupakan sebuah kehidupan yang di dalamnya terdapat lobang kuburan. Seandainya saja kehidupan itu bersemi, tiadalah mungkin dirinya akan terseret ke dalam lobang kuburan tersebut. Tapi di mana musim semi itu akan berkunjung? Jika setiap kali bertemu si pemuda idaman hatinya itu tidak pernah mengerti apa yang tersirat dalam sorotan matanya.
Hmh…lagi-lagi, khayalan itu membuat ulu hati Fauz Lin kembali berdenyut-denyut merasakan luka. Mungkin, ini hanya sebagian prakata dari sebuah cerita cinta yang agung. “Semoga, dengan kepergian diriku dia bisa menyadari. Atau mungkin dia sedikitnya merasa rindu terhadapku. Sedikit saja.” “Itu mungkin…” Harap Fauz Lin dalam hati.

Written by; Adhe Su Herman

Lukisan ini pesanan tetangga kostku di Jakarta
(Aku buat setelah peristiwa pada malam itu)