Rock 'N Roll

Rock 'N Roll

Rabu, 30 Juli 2008

It's my life



"Aku pernah membaca dan mendengar, bahwa ada tiga penghidupan yang disediakan tuhan dalam perjalanan manusia.
Kehidupan di alam kandungan, kehidupan di alam dunia, dan kehidupan di alam barzakh.
Dan ternyata dari ketiganya, hanya dalam kehidupan dunia ini yang paling istimewa.
Karena di dalamnya kita diberi perumpamaan keluarga, sahabat, kerabat dan pasangan hidup.
Kita juga diberi kesempatan untuk saling berbuat baik, care, dan kasih sayang terhadap yang lainnya.
Sedangkan kita mengetahui bahwa kesempatan istimewa itu hanya dilalui beberapa tahun saja.
Lantas apakah kita akan menyia - nyiakannya saat diantara kita diberi kesempatan untuk saling mengenal dan berbuat baik?
Ataukah malah kita tidak merasa rugi apabila kesempatan itu kita rusak dengan hal - hal yang cenderung tidak bermakna bahkan saling menjerumuskan?
Ataukah memang sudah kebiasaan kita untuk berfikir simple, mendewakan rasionalitas, memilih hal - hal yang sesaat seperti usia kehidupan ini yang juga sesaat?
Sangat menyedihkan apabila kita yang berpuluh - puluh tahun belajar dalam kehidupan namun tidak mengerti hakikat hidup kita sendiri".
Bagaimana kalau kita yang seperti itu lantas mati besok?
Apakah kita dapat diberi kesempatan lagi untuk mengulanginya?


"Hidup adalah menabung, dan tabungan itu akan dibongkar saat menghadap tuhan untuk membeli ketenangan yang abadi. dalam hidup kita bekerja, seharusnya bukan untuk keinginan atau kepuasan yang hanya berakhir semu dan menjadi kotoran".

Senin, 21 Juli 2008



Hari kemarin dan hari esok adalah ilusi...
Kehidupan kita terjadi pada hari ini...

Pengakuan Anak Ke Empat Dari Enam Bersaudara.




Mereka bukanlah raja dan ratu dengan segala kekuatannya…

Tapi dalam kehidupanku, mereka adalah sumber pemerintahan yang sejati.

Mereka bukanlah abang none atau pasangan terhebat yang ada dari hasil pemilihan..

Tapi dalam pengakuanku, mereka adalah sebuah tim yang paling aku banggakan…

Mereka bukanlah Romi dan Juliet yang menjadi icon romantisme kebanyakan orang…

Tapi dalam kenyataanku, mereka adalah legenda kasih sayang yang tiada tanding…

Mereka bukanlah jelmaan Tuhan…

Tapi dalam kesadaranku, mereka adalah “ridha” yang karenanya aku diterima oleh Tuhan…


Mereka tidak pernah meminta apapun terhadapku selain untuk aku berbuat baik.

Namun apabila aku meminta pada mereka tentang suatu hal maka mereka akan berkata:

“Jangankan sesuatu hal, andaikan dagingku ini tidak sakit untuk di iris, maka ibu akan memberikannya untuk kamu”.

Dan apabila aku bersalah dan meminta maaf, maka mereka akan berkata :

“ Ibu sudah memaafkan sebelum kamu meminta maaf nak”.


Mereka bukanlah iblis yang selalu salah…mereka bukan pula malaikat yang selalu benar,

Tapi bagiku, mereka adalah kesempurnaan terhebat yang pernah dianugrahkan oleh tuhan dalam kehidupan.

Tuhan percaya,

Tuhan mengetahui kualitas ummatnya.

Enam orang anak lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa tuhan sudah begitu besar memberi kepercayaan kepada mereka.

Tuhan menitipkan, dan mereka bekerja dengan penuh kasih ikhlas.

Dan bagiku mereka telah berhasil. Karena batas waktu yang diberikan kepada mereka adalah saat anak - anaknya mencapai tahap baligh. Selebihnya adalah tanggung jawab masing – masing anak yang sudah menjadi manusia baru.

Tapi tidak demikian bagi mereka.

Perjuangan dalam kasih sayang dan ketulusan dalam setiap nafasnya seperti sebuah kodrati yang tidak bisa ditentang hingga akhir hayat. Aku sangat berdosa jika aku tidak menyadarinya.

Dari itu aku tidak ingin mengecewakan mereka.

Dan siapapun kamu aku meminta…

Jika aku bersalah, tolong tegur aku…!

Karena kesalahan – kesalahan itu kadang serupa dengan kotoran yang melekat di kulit pipi.

Namun jika aku benar, tolong jangan berlebihan…!

Karena benarnya aku merupakan keberhasilan mereka yang selalu berupaya menempatkan aku pada kebenaran.


Dahulu…..

Emakku pernah berpesan.

“Dhe, kemanapun dan di manapun, jangan pernah tinggal sholat dan banyak – banyaklah bersholawat !.”

Bapakku pula berpesan.

“Jangan pernah membatasi pergaulan, tapi jangan pula terpengaruh oleh pergaulan !.”

Sungguh dualisasi paradigma yang sangat menawan.


Salam banggaku untuk mereka kedua orang tuaku.



Adhe.

21-july-08





Minggu, 20 Juli 2008

Cinta apa? Apa cinta?

Saat dijadikannya manusia sebagai laki - laki adalah sebagai permulaan perempuan.
Dan apabila perempuan cenderung terhadap laki - laki,
itu karena hakikat perempuan yang rindu akan tanah lahirnya.
Namun apabila sang laki - laki cenderung terhadap perempuan,
itu karena hakikatnya yang mengasihi tulang rusuknya sendiri.
Laki - laki dan perempuan merupakan satu kesatuan yang saling melindungi.
Dan sangat tidak masuk akal jika kesuciannya dirusak oleh keserakahan nafsu yang sering kali disebut - sebut sebagai cinta.



Kegagalan Cinta Di Tanah Lahirku



Kegagalan cinta di tanah lahirku



“ Apa kabar dhe?”


Sapaan hangat itu aku dengar dari seorang sopir angkutan yang mengantarku pulang menuju rumah.

Iya, aku memang sudah lama tak terlihat olehnya. Mungkin hanya saat – saat libur seperti ini aku bisa bertemu lagi dengan orang – orang yang aku kenal dahulu.

Sekitar jam tujuh pagi mungkin aku baru akan sampai di rumahku setelah semalaman naik kereta dari Jogja.


“ Yah….beginilah…” jawab aku sambil tersenyum kala itu.


Ada banyak hal yang diceritakan oleh kawanku yang sopir angkutan itu. Namun dari kesekian banyak ceritanya aku sedikit dibuat kaget mengenai salah satu penuturannya. Bahwa di desaku akan dilangsungkan pemilihan kepala desa baru. Dan salah satu calonnya adalah tetanggaku sendiri. Namun seperti umumnya masyarakat Indonesia. Hajatan demokrasi rakyat seperti ini cenderung diartikan sebagai lahan aktif yang menghendaki, bukan dikehendaki.

Tidak berlebihan memang apa yang telah diceritakan oleh sang sopir itu. Terbukti saat aku sampai di rumah dan bertemu dengan kawan – kawan lamaku, aku langsung disuguhi cerita – cerita menarik seputar pemilihan kepala desa yang akan berlangsung.

Ada rahasia besar yang sepertinya enggan diutarakan oleh masyarakat tercintaku. Rahasia cinta yang sudah terpalsukan, rahasia adat yang sudah lebih dulu terkafani dan sebentar lagi akan masuk ke liang lahat. Sedangkan orang – orang yang menyembayangkannya seolah bernyanyi merdu tanpa harus menumpahkan air mata mereka yang pelit.

Lalu dimana aku harus mempertanyakan cinta itu?

Karena kegalauanku tidak lebih hanyalah sebuah kebiasaan dan sesuatu yang wajar terjadi bagi mereka.

Lumayan tragis…!!

Pada suatu ketika aku pernah mendengar cerita usang tentang kejayaan desa kami diwaktu lampau. Dan bagi orang – orang tua yang menceritakannya akan terlihat bangga sekaligus menyenangkan. Karena di dalamnya mereka selalu ada untuk cinta, penghargaan, dan pengakuan diri bahwa desa kami memang berawal dari desa yang masyhur akan budi pekerti. Namun seolah berkarat, pisau – pisau cinta itu kini tidak nampak tajam lagi. Gagangnya mulai retak, ujung mata pisau itu kini tidak lagi seram. Mungkin anak kecilpun akan segan untuk mangambilnya sebagai mainan.

Ada apa sebenarnya ini?

Bukankah hari ini lebih muda ketimbang hari kemarin?

Orang – orangku seharusnya lebih cemerlang dengan palsafah cintanya. Karena mereka tidak lagi tertinggal oleh zaman.

Informasi dari segala macam media, strata ilmu pengetahuan yang semakin membaik, ikhwal berfikir merekapun tak kalah kritis dan modern dibanding tokoh – tokoh yang ada di TV.

Lalu kurang apa lagi?

Sehingga terkesan apapun yang diperolehnya tidak begitu bermanfaat.

Sehingga apa – apa yang diwariskan kakek dan neneknya tak lagi menjamin untuk hidup bermartabat.

Dan seseorang akan mengatakan bahwa keberhasilan dari membaca bukanlah pada saat si pembaca menyelesaikan bacaannya hingga halaman terakhir. Tapi terletak pada sejauh mana efek dari bacaan itu untuk mereka pahami dan diamalkan.


Demokrasi…

Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Begitu yang sering aku dengar dari guru – guru SD.

Dan sekarang kita bukan lagi anak SD yang kerjanya hanya menghafal sebelum tidur untuk ujian besok. Tapi lebih dari itu. Bahwa dalam esensi demokrasi merupakan pendasaran subyektif yang ditumpukan pada rakyat. Lalu rakyat yang seperti apa?

Apakah rakyat yang menginginkan kedudukan dengan berbagai upaya untuk mendapatkannya?

Ataukah rakyat yang saling menghasut terhadap golongan lainnya?

Lantas yang semula kawan menjadi lawan, saling curiga, menebar kebencian seolah kehendak kita adalah mata tombak yang siap dihunuskan pada setiap perut yang tidak sepihak?

Sepihak!?

Untuk berapa lama?

Lima tahunkah?

Tujuh tahunkah?

Atau sepuluh tahun?

Lalu manusia mana yang selama itu sanggup bertahan dalam kebencian?

Bukankah besok pagi kita harus menyiapkan peralatan untuk pergi ke ladang kembali?

Bukankah sawah – sawah kita akan tetap mambutuhkan aliran air dari sawah - sawah tetangga?

Lalu apa yang kita dapatkan dari penghilangan romansa cinta itu?

Jadi tolong…beri tahu aku tentang kemurnian dari makna demokrasi itu!

Aku betul – betul tidak paham dan tidak mengerti mengenai ini semua.

Aku ingin belajar lagi tentang cinta yang telah dirasakan oleh kakek dan nenekku terdahulu.

Atau setidaknya harus ada yang berani untuk menuliskannya sebagai novel peradaban. Agar anak cucuku tidak lagi menemui kegagalan dalam romansa cinta bermasyarakat yang lebih pure dan beradaptasi.

Bahwa dari semenjak pertama kali kita menangis memang perbedaan –perbedaan itu sudah menjadi bagian atau hak pada setiap diri manusia. Lalu kekuatan apa yang akan sanggup menyangkal bahwa pernyataan itu memang benar – benar iya?




( Sepulang liburan.)

Jogja, 19-juli-08


Adhe