Rock 'N Roll

Rock 'N Roll

Senin, 28 April 2008

Lestari


Lestari

Di sebuah desa kecil aku mengenal seseorang yang sangat sitimewa. Namanya Lestari. Nama yang sangat cantik. Mukanya tidak lonjong, tidak juga bulat. Rambutnya ikal tebal mirip dengan rambutku. Untuk mengenai kulit, aku tidak bisa menjelaskan. Karena hal ini berkaitan dengan warna kulitku. Sepintas penampilannya sangat sederhana. Hampir setiap hari aku melihatnya mengenakan busana tempo dulu. Rok warna hijau madrasah dengan seribu lipatan dipadu dengan oblong warna – warni. Terkesan ia adalah bunga desa yang belum ditemukan penjelajah. Tapi tidak demikian bagi orang – orang kampungnya. Dimata mereka lestari hanyalah seorang gadis bisu yang setiap hari gemar merawat bunga.
Di depan teras rumahnya terdapat beberapa tanaman bunga yang tidak banyak jenisnya. Namun setiap pagi buta ia selalu menengok bunga itu. Biasanya sebelum melakukan pekerjaan rumah ia selalu menyempatkan diri untuk menyirami dan membuang kotoran – kotoran yang melekat di dahannya. Selalu begitu setiap hari. Terkadang pada sore haripun ia memberikan pupuk dan pembasmi hama. Begitu sayangnya ia dengan bunga – bunga itu. Hingga bila ada unggas yang mendekati bunga itu segera ia mengusirnya dengan marah- marah.
Pada suatu ketika aku melewati rumahnya berjalan kaki dengan saudara angkatku. Tidak sengaja aku melihat dia sedang membelah – belah bambu yang sudah terpotong sekitar 40 centi. Lalu akupun tertarik untuk bertanya pada saudaraku itu.
” Bikin apa dia?” tanyaku.
” Gak tahu mas..” jawabnya.
” Bikin layang-layang kali ya!?” tebakku.
Tanpa menjawab pertanyaanku lalu saudaraku itu menghampiri Lestari yang sedang asik menghaluskan bilah bambunya.
” Nuju naon tari..?” tanya saudaraku menggunakan bahasa setempat . atau dalam bahasa sumpah pemudanya ” sedang apa tari?”. (tari itu panggilan akrabnya gadis itu.)
” Hwa hwe..hwaaa..!!” jawab dia sambil menggunakan bahasa gerak mirip wayang golek.
” Apaan katanya?” tanyaku penasaran.
” Katanya mau bikin pagar untuk tanaman bunga biar gak diganggu hayam..” jelas saudaraku.
” Ooo...” tanggapku.
Istimewa sekali gadis ini. Tangannya begitu lincah memainkan golok separti tukang jagal aja. Baru saja aku mengagumi kepiawaiannya tiba – tiba,
” hwa hwe hwo bah blkbzt ihe ui tyvhaa hywoozzt...!” tidak jelas juga lestari ngomong apa.
” Apaan lagi tuh?” tanyaku lagi.
Tapi pertanyaanku tidak langsung dijawab, saudara angkatku itu masih saja meladeni Lestari yang kayak orang marah. Aku hanya bisa melongo melihat Lestari dan saudaraku bercengkerama dengan bahasa yang mawut. Saat itu aku bener – bener merasa sedang diculik Alien. Apalagi bahasa isyarat Lestari yang mengacung – acungkan golok membuat aku sedikit khawatir. Tapi saudaraku itu malah ketawa – ketawa seolah sedang bercanda saja. Lalu setelah Lestari melanjutkan kembali pekerjaannya saudaraku kemudian menjelaskan.
Ini katanya Lestari sangat marah kalau bunganya diganggu sama hayam – hayam tetangga. Makanya ia membuat pagar. Tapi kalau misalnya tetap saja diganggu, dia bakal menyembelihnya terus dimasak dan kalau sudah matang diberikan lagi sama yang punya.” jelas saudaraku sambil tertawa.
Geli juga aku mendengarnya. Ternyata seorang Lestari yang bisu memiliki selera humor yang lumayan cerdas.
Tapi dari humornya itu aku masih bisa menangkap suatu keseriusan yang tidak bisa dibantah. Dia sangat serius menyayangi tanaman bunganya itu, sampai ia rela membuat pagar pelindung dan memberikan ancaman bagi yang merusaknya.
” Udah yuk..!” ajak saudaraku untuk meninggalkan Lestari yang masih kerja.
Sebenernya aku masih ingin melihat Lestari berlama – lama. Aku suka sekali melihat semangatnya. Aku suka melihat sandal sunlynya yang sebelah kiri ijo dan sebelah kanan merah. Coba ya kalau japitannya warna kuning, mungkin orang kota akan kesulitan untuk membedakan mana sendal Tari dan mana trafic light. ( Hmm...ada – ada saja penulis amatir ini...).Tapi saudaraku itu mungkin sudah terlalu biasa melihat Lestari. Hingga terkesan tidak tertarik sama sekali untuk berlama – lama.
Aku dan saudara angkatku akhirnya kembali melanjutkan perjalanan menuju air terjun yang biasa disebut curug sawer. Sepanjang perjalanan aku masih saja memikirkan keistimewaan Lestari. Sedangkan saudaraku terlihat berjalan menjauh mendatangi kebun strawberry milik temannya. Namun aku terus saja berjalan sendiri, hingga pada akhirnya saudaraku itu kembali bergabung dan menawari aku beberapa buah strawberry yang masih segar.

***
Hampir tujuh hari aku berada di kampung ibu angkatku. Sebentar lagi masa liburan habis dan aku harus kembali ke jogja untuk kuliah. Dan hari ini mungkin hari terakhir aku tinggal di kampung ini.
” hayo ka kebon !” tiba – tiba ibu angkatku muncul dari ruang tengah mengajak aku main ke kebun miliknya. Akupun tak kuasa menolak. Akhirnya aku turut juga.
Hari itu akupun pergi ke kebun bersama ibu angkatku. Nyaman sekali suasana di desa ini. Begitu sejuk dan hijau dengan pepohonan yang nampak anggun berbaris menyerupai dayang – dayang pada zaman majapahit dulu.
Tak banyak yang aku perbuat di kebun ibu angkatku itu. Aku hanya membantu sebisanya. Memetik sayur, menyucinya di telaga kecil, dan memasukkannya kedalam karung goni. Sedangkan yang memperbaiki kebunnya sudah dikerjakan oleh anak – anaknya sendiri.
Tak terasa hari menjelang sore, dan kami sekeluargapun mulai mengangkat sayur itu untuk dibawa pulang. Setelah semuanya terbawa, kamipun berjalan menyusuri pematang menuju jalan kearah desa.
Sepanjang perjalanan pulang, seperti biasa aku tidak pernah bosan mengagumi pemandangan desa ini.Matahri sorepun tidak bersinar seperti kemarin. Warna kuasnya hari ini begitu terang memulasi langit sebelah barat. Warna yang sangat menakjubkan, kagumku waktu itu. Namun suasana seperti itu sepertinya sama sekali tidak menarik perhatian yang lain. Mereka malah terkesan seperti anggauta keluarga bagi alam semesta. Mungkin juga karena mereka terlalu akrab dengan alam sehingga alam sekitar merupakan satu kesatuan dan bukan hal yang aneh untuk dipandangi berlama - lama.
Kami sekeluarga terus saja melangkah berurutan menyerupai antrian bioskop.
Dan tepat ditengah perjalanan, ibu angkatku berhenti di depan rumah Lestari yang bisu itu.
” Euleuh euleuh.. meuni geulis pisan iyeu kembangna..!?” kata ibu angkatku memuji bunga yang ada di depan rumah Lestari. Aku lihat wajah Lestari begitu berseri mendengar pujian ibu angkatku itu.
” Daek atuh mimih menta hiji..!?” kata ibu angkatku bermaksud meminta bunganya yang cantik itu.
Diluar dugaan, si Lestari yang amat sangat menyayangi bunganya itu sama sekali tidak marah saat ada orang lain memintanya dengan cuma - cuma, justru ia terlihat sangat senang mempersilahkan ibu angkatku untuk memetiknya sendiri.
Setelah ibu angkatku memetik beberapa kuntum bunga itu lalu iapun berpamitan dan mengucap terimakasih pada Lestari.
“ Hatur nuhun nya neng..!” ucapnya.
Dan seperti biasanya, Lestari hanya membalas dengan seulas senyum manis dari bibirnya yang sama sekali tidak basah. ( Namun menurutku bentuk bibirnya lumayan sensual hampir mirip dengan bentuk bibirnya orang terkenal yaitu mike tyson ).
Lalu aku dan ibu angkatku kembali berjalan menyusul saudara – saudara yang lain yang lebih dulu pulang ke rumah.
***
Esok paginya aku pamit pulang ke rumah ibu kandungku di Indramayu. Dengan segala macam sayuran sebagai oleh – oleh untuk keluargaku, akupun pulang berjalan kaki menyusuri jalan desa menuju jalan aspal. Dimana di jalan itu merupakan tempat lewatnya mobil pengangkut sayuran menuju pasar di kota.
Lagi – lagi aku dan saudaraku melewati depan rumah Lestari. Namun kali ini suasananya lebih menarik. Karena aku melihat banyak ibu – ibu dan remaja putri yang sedang berada di depan rumahnya. Sepertinya mereka sedang mengagumi keindahan dan keharuman bungannya. Selintas aku masih sempat mendengar percakapan mereka.
” Abdi menta hiji nya..!! jang di kamar..” pinta salah seorang ibu pada Lestari.
Suara – suara itu terus silih berganti hingga tidak dapat aku dengar lagi. Semua orang tertarik dengan keindahan dan kesegaran bunga yang selama ini dirawat baik oleh Lestari. Namun Lestari tetap dengan keanggunannya. Mempersilahkan mereka yang memintanya dengan senyuman dan penuh bangga.
Langkahku semakin menjauh. Suara – suara ibu itu terus saja tumpang tindih dan semakin lamat, hingga akhirnya telingakupun tidak bisa menangkapnya lagi karena rambatan suara itu semakin melemah dan hilang.
***
Lestari...
Dia menanam, menyirami, memupuk, dan memagari bunganya agar terlindung dari unggas – ungas yang merusaknya.
Saat bunga itu layu, ia segera mencari penyebabnya. Bilakah dikarenakan hama ulat, maka ia segera pula mencari obatnya hingga bunga itu tetap tumbuh sehat dan segar kembali.
Saat bunga – bunga itu mekar dan wangi, ia tidak rakus dan tamak. Ia mempersilahkan setiap orang yang memintanya untuk pengharum ruangan atau sekedar sebagai penghias kamar.
Baginya saat orang tertarik dan memuji bunganya yang cantik dan harum merupakan sebuah keberhasilan. Ia telah berhasil merawat bunga itu dengan baik. Dan ia ikhlaskan semua orang merasakan manfaatnya.
Sedangkan kepuasan batinnya adalah kebaikan pada bunga itu sendiri. Bukan untuk memetiknya apalagi merusaknya.”

Aku pulang dulu Lestari, jaga diri kamu baik – baik. Semoga akan ada pecinta sepertimu. Bukan dalam perumpamaan, tapi dalam kesadaran yang benar – benar paham akan kebenaran untuk mencinta.



Liburan 2007
hAde.

Tidak ada komentar: