Rock 'N Roll

Rock 'N Roll

Minggu, 04 Mei 2008

Dont 4get me !


Dont 4get me !


Langit cerah…warna biru siang ini begitu mempesona. Angin perbukitan yang sejuk terus bermain di sela – sela daun pinus. Matahari terlihat samar – samar seperti silau oleh cahayanya sendiri. Di tepi bukit di atas rumput hijau nampak seorang bocah kurus termangu memandangi jurang – jurang dan dataran yang terhampar luas di hadapannya. Nama bocah kecil itu Awan. Awan adalah seorang bocah yang kesepian. Setiap harinya dia diasingkan oleh teman – teman sepermainannya. Kejiwaan Awan semakin hari semakin tidak stabil. Mungkin karena usianya yang terlalu dini dan sensitif. Sehingga apapun yang dilakukan oleh orang tuanya untuk menghibur dia tidak pernah berhasil. Hampir setiap hari seluruh waktunya terbuang di tepi bukit ini. Sendirian, dan selalu sendiri. Pada saat – saat seperti ini tidak jarang dirinya merasakan kerinduan yang teramat dalam. Rindu tentang gelak tawa, rindu tentang persahabatan, rindu tentang semua orang yang mau menghargai dirinya.

Satu dua daun – daun kering terjatuh dari tangkainya seolah jemu bermahkota. Pucuk – pucuk pinus meliuk – liuk indah menyerupai penari balet yang sedang pentas. Suara angin menggesek dahan – dahan begitu menyayat merdu laksana biola sang seniman. Keadaan bukit itu tetap saja sepi, sesepi suasana hati seorang Awan dan kerinduannya. Namun tak berapa lama kemudian Awan kecil itu mulai bangkit dan meninggalkan tempat duduknya. Kakinya yang hitam telanjang menyusuri jalan setapak menuju sebuah taman dimana ia bisa membuang rasa sepinya.

Namun alangkah malangnya nasib Awan sesampainya di taman bukit itu. Ternyata kehadirannya adalah perusak bagi segenap penghuni taman. Dan Awan kecil hanya terdiam melihati mereka yang bergerak meninggalkan bukit menuju lembah pinggir hutan. Sebagian ada yang terbang, sebagian lagi melata, bahkan ada pula yang menyusup ke balik semak – semak.

Ya tuhan..ada apa ini ?” gumamnya tak mengerti.

Awan masih saja terdiam diantara bunga – bunga taman itu. Fikirannya mengambang seolah tak ada sesuatu yang bisa ia simpulkan. Beberapa saat kemudian Awanpun mulai meninggalkan taman itu dengan berfikir bahwa ia harus melakukan sesuatu.

***

Esok harinya seorang Awan kecil kembali mendatangi taman itu. Di kanan kirinya tergenggam jurai – jurai gandum dan padi yang dibawanya dari rumah orang tuanya. Sepanjang perjalanan ia melambai – lambaikan jurai gandum dan padi yang ada ditangannya itu. Ia memanggili setiap ada yang melihatnya.

Woooii...!” berkali – kali Awan berteriak lantang dengan harapan bisa menarik perhatian mereka.

Seketika merekapun bergerak kearah Awan. Begitu riangnya perasaan seorang Awan saat itu. Iapun berlari mengajak mereka kearah taman. Sesampainya di taman, Awan kecilpun mulai mengikhlaskan jurai demi jurai gandum dan padinya pada mereka yang bergerombol. Tampak sekali mereka saling berebut. Bahkan diantaranya seperti tidak merasakan risih lagi untuk berdekatan dengan Awan. Ada pula yang hinggap di bahu dan lengannya. Betapa bahagianya perasaan Awan saat itu, sampai – sampai ia lupa dengan kejadian kemarin. Lalu sambil tersenyum Awanpun berkata dalam hatinya sendiri.

” Ooo...inikah caranya..?”

***

Esok harinya lagi, Awan bergegas kembali ke taman bukit. Kali ini tidak hanya jurai gandum dan padi yang ia bawa. Namun iapun membawakan daging dan buah – buah segar untuk mereka yang tidak suka makanan yang ia bawakan sebelumnya.

Keceriaan seperti kemarinpun terulang lagi. Bahkan kali ini Awan kecil benar – benar merasakan kebahagiaan yang lebih. Keriangannya semakin sempurna. Karena kawannya kini bukan hanya burung – burung atau unggas – unggas hutan saja. Tapi juga beberapa ekor ular, singa, bahkan monyet yang lucupun ikut pula hadir di taman itu. Tak bosan – bosannya Awan kecil bermain dan tertawa dengan mereka yang ada di sekelilingnya. Hingga pada saatnya ia terfikirkan akan keberadaan bunga – bunga yang ada di sampingnya. Lalu iapun berkata seperti ditujukan pada bunga itu.

” Tunggu aku besok ya..!” ucapnya.

***


Esok sorenya lagi. Seorang Awan kecil sudah berada di taman bukit itu dengan segala sesuatu yang ia bawa dari rumah orang tuanya. Seperti biasa ia memberikan bawaan makanan untuk kawan – kawannya itu. Lalu ia biarkan kawan – kawannya itu berkumpul dan bermain dengan kawanannya masing – masing.

Sesaat kemudian terlihat Awan mulai bergerak menyelinap di antara belukar menuruni lembah. Di tentengnya dua ember kayu bermaksud untuk mengambil air dari sumbernya di bawah sana.

Tidak lama kemudian Awan sudah muncul lagi di taman itu dengan dua ember kayu yang terisi penuh dengan air bening.

Dan di antara canda riang kawan – kawannya itu, Awan mulai menyirami setiap bunga yang ada di taman bukit. Satu persatu ia datangi bunga – bunga itu dengan penuh perhatian.

Seusai menyirami, Awanpun lalu membersihkan sekelilingnya dengan tangan, memberinya pupuk kandang, dan memetik daun – daun kering yang merusak keanggunannya. Awan kini merasa puas dengan pekerjaannya, ia tidak lagi merasa khawatir ditinggalkan kawan – kawannya.

Matahari sore terus merambat pelan memulasi langit barat dengan warnanya yang elok. Sementara seorang Awan kecil tampak masih betah bercengkerama dengan bunga – bunga yang ada di sekitar taman bukit itu. Sesekali tangannya mengelus lembut kelopaknya yang indah, menciumi harum parfumnya yang semerbak. Baginya kini tak ada lagi kakhawatiran yang berarti. Ia hanyut, terlena, dan akhirnya iapun tertidur pulas di antara bunga – bunga itu.

***


” Aduh..!!”tiba – tiba saja Awan tersentak dan terjaga dari tidurnya.

Rupa – rupanya rintik air langit telah menetes tepat di wajahnya yang tengadah.

” Dimanakah aku??” bingungnya dalam hati.

Sesaat kedua tangan Awan mengusapi kedua matanya yang masih nanar.

” Taman ini sepi..” batinnya.

Suasana di sekelilingnya begitu gelap. Menatap langitpun seperti sia – sia. Disana sama sekali tidak ada cahaya yang bisa dijumpai. Semua ruang seperti kosong. Hatinya tiba – tiba merasa takut karena tidak bisa melihat apa – apa lagi.

Beberapa saat lamanya Awan kecil kebingungan, hingga pada akhirnya iapun mencoba bangkit. Tangannya berusaha meraba – raba kian kemari. Namun tetap saja ia tidak menemukan apa – apa. Yang ada hanya kegelapan dan kesunyian.

” Dimanakah bunga – bunga itu ?” katanya sambil terus membelalakkan mata berharap bisa menemukan.

” Wooooii....!!” kali ini Awan seperti benar – benar takut dengan keadaannya. Ia begitu keras memanggil – manggil.

” Wooii buruuung..., ayam.., singa..., monyet, ular.., dan siapapun yang mendengarnya.., tolong aku...!!” teriaknya berharap ada salah satu kawannya yang mendengar.

” Tolong aku kawan...aku tidak tahu jalan..!!” ucapnya mengulangi.

Namun tetap saja teriakannya hanya berbalas sunyi. Sebentar kemudian Awan bergerak perlahan tanpa tahu harus kemana. Dan pada saat kebingungan dan ketakutannya seperti itu ia tiba – tiba saja menjerit kesakitan.

” Aduh..!!” teriaknya spontan.

Kakinya terkilir menginjak sebuah lubang. Ia terjatuh di atas tanah lembab. Lalu dengan cepat ia memijat – mijat kakinya sendiri. Namun semakin dipijat sakitnya semakin terasa nyeri dan ngilu. Seperti menyerah lalu Awanpun terdiam sesaat dan berfikir.

“ Ini bukanlah taman yang aku singgahi tadi sore, lalu…dimanakah aku sebenarnya ?” ia terus berfikir terheran – heran.

“ Ya tuhan…berilah aku petunjuk jalan “

Tolong aku tuhan, aku ingin pulang..” mohonnya dengan nada memelas.

Awan masih saja terduduk. Gerimis hujan tidak berubah. Butiran airnya yang rintik – rintik kecil menambah kegundahan hati seorang Awan kecil saat itu. Lagi - lagi ia menengok ke sekelilingnya, namun tetap saja keadaan tidak berubah. Disini tidak ada bunga, disini tidak ada burung, unggas, atau apapun yang dianggapnya sebagai teman. Ia hanya bisa menunduk lesu dan berusaha untuk sadar bahwa ia kini telah sendiri.

” iya..aku sekarang sendiri..” ungkapnya pelan.

Perlahan namun pasti iapun mengangkat batu yang menjadi tumpuan kedua tangannya.

” Trat..Trat..!!” percikan api itu muncul dari antara batu yang ia bentur – benturkan.

Sekali tak berhasil, dua kali tak berhasil, dan ketiga kalinyapun tetap tak berhasil. Namun Awan seolah tak menyerah untuk mendapatkan api sebagai penerangannya sendiri. Semakin lama mencoba, semakin lemah pula semangatnya. Akhirnya iapun putus asa dan menyerah. Lalu ia berbaring lagi di atas tanah lembab yang kotor.

“ Oh ibu..tolong aku ibu..!!” rintihnya pasrah dengan kedua tangan menutuupi wajahnya yang semakin sedih.

Suasana semakin hening dan gelap. Awan kecil semakin tidak bisa berbuat apa – apa dengan keadaannya.

Cukup lama ia terbaring dalam ruang gelap itu. Hingga akhirnya iapun perlahan – lahan membuka mata dan berusaha untuk duduk kembali.

Tiba – tiba saja ia seperti dalam mimipi. Antara tidak percaya dan rasa gembira ia terperangah menatapi obor yang tengah menancap di ujung kakinya.

Dalam ketakjubannya tiba – tiba ia disentakkan oleh suara seorang wanita.

” Raihlah nak...!”

Betapa kagetnya ia mendengar suara yang sepertinya keluar dari sinaran api obor itu.

Gapailah obor ini, dan mari kita pulang..!” suara itu terdengar kembali.

Masih dalam keadaan tidak percaya, Awan lalu berkata menimpali.

Sepertinya kamu bisa berbicara..!?” katanya dengan heran.

Hanya engkau sendiri yang membuat oborku berbicara nak..” jawab obor itu lembut.

” Apa maksudmu?” tanya Awan lagi.

“ Karena aku adalah kasih sayangmu yang sejati.” Jawab obor.

Setelah berfikir sejenak Awan lalu berkata kembali.

“ Kalau memang engkau kasih sayangku, kenapa engkau tidak hadir saat aku

memanggil – manggil dan butuh pertolongan ?” ucap Awan.

“ Sesungguhnya aku selalu ada di sisimu di setiap waktu dan setiap musim.

Dimanapun engkau berada anakku...” Tuturnya bersahaja.

” Lalu kenapa kamu tidak menerangiku saat aku terjebak dalam kegelapan ini?”

Tanya Awan lagi.

” Karena engkau terlupa untuk menyalakannya.” jawabnya singkat.

Menyalakan..?? menyalakan bagaimana ?” Tanya Awan semakin tidak mengerti.

Kali ini obor itu terdiam tak mengeluarkan suara lagi. Suasanapun menjadi hening sesaat. Hembusan angin yang spoi – spoi tiba – tiba saja memadamkan nyala obor itu. Seketika suasana menjadi gelap dan mecekam. Dan bersamaan dengan itu Awan merasa kaget dan sangat takut sambil menjerit spontan tanpa sadar.

” Ibu..!!” jeritnya.

Namun alangkah lebih kagetnya lagi, setelah jeritannya itu tiba – tiba saja obor itu menyala kembali seperti semula.

” Ibu...” lirih Awan dengan nada yang sangat pelan.

Sejenak Awan tertegun dengan bibir bergetar dan kelopak matanya yang mulai menghangat. Dan seketika itu juga air matanya mengalir pelan, ia teringat akan seseorang yang tidak asing dalam hidupnya. Dialah seseorang yang sering dilupakan kehadirannya. Namun dia pula yang selalu ada untuk hidupnya.

Iya...ini ibu nak, ini adalah kasih sayangmu. Ini adalah cinta ibumu.do’a keselamatanmu.” Ucap sang obor itu terdengar seperti menahan tangis.

Dengan perlahan Awanpun meraih obor itu dan memeluknya erat. Jilatan apinya sama sekali tidak memberikan rasa sakit terhadap wajah Awan. Karena nyala obor itu bukanlah untuk menyakitinya, namun untuk menerangi jalannya menuju ke arah pulang.

” Terima kasih Ibu..”



Yogyakarta – Malam Idul Adha – 2004


Adhe.


Tidak ada komentar: