Rock 'N Roll

Rock 'N Roll

Minggu, 20 Juli 2008

Kegagalan Cinta Di Tanah Lahirku



Kegagalan cinta di tanah lahirku



“ Apa kabar dhe?”


Sapaan hangat itu aku dengar dari seorang sopir angkutan yang mengantarku pulang menuju rumah.

Iya, aku memang sudah lama tak terlihat olehnya. Mungkin hanya saat – saat libur seperti ini aku bisa bertemu lagi dengan orang – orang yang aku kenal dahulu.

Sekitar jam tujuh pagi mungkin aku baru akan sampai di rumahku setelah semalaman naik kereta dari Jogja.


“ Yah….beginilah…” jawab aku sambil tersenyum kala itu.


Ada banyak hal yang diceritakan oleh kawanku yang sopir angkutan itu. Namun dari kesekian banyak ceritanya aku sedikit dibuat kaget mengenai salah satu penuturannya. Bahwa di desaku akan dilangsungkan pemilihan kepala desa baru. Dan salah satu calonnya adalah tetanggaku sendiri. Namun seperti umumnya masyarakat Indonesia. Hajatan demokrasi rakyat seperti ini cenderung diartikan sebagai lahan aktif yang menghendaki, bukan dikehendaki.

Tidak berlebihan memang apa yang telah diceritakan oleh sang sopir itu. Terbukti saat aku sampai di rumah dan bertemu dengan kawan – kawan lamaku, aku langsung disuguhi cerita – cerita menarik seputar pemilihan kepala desa yang akan berlangsung.

Ada rahasia besar yang sepertinya enggan diutarakan oleh masyarakat tercintaku. Rahasia cinta yang sudah terpalsukan, rahasia adat yang sudah lebih dulu terkafani dan sebentar lagi akan masuk ke liang lahat. Sedangkan orang – orang yang menyembayangkannya seolah bernyanyi merdu tanpa harus menumpahkan air mata mereka yang pelit.

Lalu dimana aku harus mempertanyakan cinta itu?

Karena kegalauanku tidak lebih hanyalah sebuah kebiasaan dan sesuatu yang wajar terjadi bagi mereka.

Lumayan tragis…!!

Pada suatu ketika aku pernah mendengar cerita usang tentang kejayaan desa kami diwaktu lampau. Dan bagi orang – orang tua yang menceritakannya akan terlihat bangga sekaligus menyenangkan. Karena di dalamnya mereka selalu ada untuk cinta, penghargaan, dan pengakuan diri bahwa desa kami memang berawal dari desa yang masyhur akan budi pekerti. Namun seolah berkarat, pisau – pisau cinta itu kini tidak nampak tajam lagi. Gagangnya mulai retak, ujung mata pisau itu kini tidak lagi seram. Mungkin anak kecilpun akan segan untuk mangambilnya sebagai mainan.

Ada apa sebenarnya ini?

Bukankah hari ini lebih muda ketimbang hari kemarin?

Orang – orangku seharusnya lebih cemerlang dengan palsafah cintanya. Karena mereka tidak lagi tertinggal oleh zaman.

Informasi dari segala macam media, strata ilmu pengetahuan yang semakin membaik, ikhwal berfikir merekapun tak kalah kritis dan modern dibanding tokoh – tokoh yang ada di TV.

Lalu kurang apa lagi?

Sehingga terkesan apapun yang diperolehnya tidak begitu bermanfaat.

Sehingga apa – apa yang diwariskan kakek dan neneknya tak lagi menjamin untuk hidup bermartabat.

Dan seseorang akan mengatakan bahwa keberhasilan dari membaca bukanlah pada saat si pembaca menyelesaikan bacaannya hingga halaman terakhir. Tapi terletak pada sejauh mana efek dari bacaan itu untuk mereka pahami dan diamalkan.


Demokrasi…

Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Begitu yang sering aku dengar dari guru – guru SD.

Dan sekarang kita bukan lagi anak SD yang kerjanya hanya menghafal sebelum tidur untuk ujian besok. Tapi lebih dari itu. Bahwa dalam esensi demokrasi merupakan pendasaran subyektif yang ditumpukan pada rakyat. Lalu rakyat yang seperti apa?

Apakah rakyat yang menginginkan kedudukan dengan berbagai upaya untuk mendapatkannya?

Ataukah rakyat yang saling menghasut terhadap golongan lainnya?

Lantas yang semula kawan menjadi lawan, saling curiga, menebar kebencian seolah kehendak kita adalah mata tombak yang siap dihunuskan pada setiap perut yang tidak sepihak?

Sepihak!?

Untuk berapa lama?

Lima tahunkah?

Tujuh tahunkah?

Atau sepuluh tahun?

Lalu manusia mana yang selama itu sanggup bertahan dalam kebencian?

Bukankah besok pagi kita harus menyiapkan peralatan untuk pergi ke ladang kembali?

Bukankah sawah – sawah kita akan tetap mambutuhkan aliran air dari sawah - sawah tetangga?

Lalu apa yang kita dapatkan dari penghilangan romansa cinta itu?

Jadi tolong…beri tahu aku tentang kemurnian dari makna demokrasi itu!

Aku betul – betul tidak paham dan tidak mengerti mengenai ini semua.

Aku ingin belajar lagi tentang cinta yang telah dirasakan oleh kakek dan nenekku terdahulu.

Atau setidaknya harus ada yang berani untuk menuliskannya sebagai novel peradaban. Agar anak cucuku tidak lagi menemui kegagalan dalam romansa cinta bermasyarakat yang lebih pure dan beradaptasi.

Bahwa dari semenjak pertama kali kita menangis memang perbedaan –perbedaan itu sudah menjadi bagian atau hak pada setiap diri manusia. Lalu kekuatan apa yang akan sanggup menyangkal bahwa pernyataan itu memang benar – benar iya?




( Sepulang liburan.)

Jogja, 19-juli-08


Adhe

Tidak ada komentar: