Rock 'N Roll

Rock 'N Roll

Selasa, 29 Desember 2009

Penggalan Novel 'Lemah Wangi' (the 1st work)


Saat ini, Fauz Lin sudah tidak lagi menjadi santri. Dirinya sadar akan identitas baru sebagai mahasiswi yang bakal menemui realita hidup yang baru pula; cara pandang, pergaulan, kemandirian, sosialisme, dan pola pikir yang mau tidak mau akan tergesek pula oleh suasana yang benar-benar berbeda dengan kesibukan pesantren. Tapi Fauz Lin jauh lebih sadar untuk stabilisasinya dikemudian hari. Ia bersyukur, sedari kecil hingga dewasa terdidik di lingkungan pesantren. Menurutnya, pendidikan A-gama merupakan dasar yang paling penting untuk melangkah kedepan sejauh apapun, oleh karena itu haruslah sekuat mungkin. Pada pendapatnya, tujuannya pendidikan A-gama tidak lain sebagai pengendalian kinerja dan pengetahuan diri agar tidak ngamprah. Setiap ia berbicara soal itu, dirinya langsung teringat akan sahabatnya Kinanthi. Kinanthi pun pernah berbicara; “Jauh sebelum invasi kolonial, Indonesia sesungguhnya memiliki metode belajar yang sangat agung.” Kata Kinanthi kala itu. “Sebut saja Pesantren-Pesantren dan para Empu yang menyediakan pewaris tahta yang digdaya. Mereka menerapkan pola didik yang menekankan pada dasar moril yang kuat. Pada ungkapan mereka, seorang raja tidak hanya sebagai pemegang kuasa. Akan tetapi sebagai media penghubung antara mikrokosmos dan makrokosmos; manusia dan alam semesta. Bisa diartikan, pola didik yang diberikan oleh bangsa kita bisa sampai delapanpuluh persen seputar kebatinan dan kesadaran sebagai manusia akan fungsi dan tujuannya. Selebihnya adalah skill, pengetahuan umum, dan politik. Jelasnya, keruntuhan Wilwatikta merupakan awal bencana bagi pola didik leluhur itu. Seperti yang tercatat dalam sejarah, Ki Hajar Dewantara menentang dengan sistem pendidikan yang diterapkan oleh barisan kolonial tersebut. Tapi apa yang bisa dikatakan oleh negeri yang terjajah? Kita tidak lebih hanya tidur selama berabad-abad, jikapun melek sedikit hanya menunggu disuapi, bahkan hingga sekarang. Jadi tidak patut dipersalahkan jika orang-orang berakal hebat tidak bisa berprilaku baik terhadap negaranya sendiri. Karena itu hanya sebagian hasil dari sistem pendidikan yang keliru, sistem didik yang minim pendidikan moril.”
Untuk pertama kalinya Fauz Lin merasa tersinggung pada pernyataan Kinanthi yang menyerempet keruntuhan Majapahit. Ingin sebenarnya kala itu ia melepas unek-uneknya dan mengatakan; “Bukannya keruntuhan Majapahit adalah kebijaksanaan para dewan Wali Jawa!? Untuk Islam!? Untuk Indonesia juga agar lebih demokratik!? Menebas habis tiran dan kelas-kelas!?” tapi saat itu ia merasa sangat ragu juga takut, salah-salah sahabatnya akan mengira ia telah menyudutkan pengetahuannya. Beruntungnya, Kinanthi tanggap dengan pernyataannya sendiri. Saat itu Kinanthi menambahkan;
“Raden Patah, tidak cukup mampu mengembalikan kejayaan si Jaka Umbaran. Akibatnya, si kutubusuk Blambangan itu dengan begitu saja mengambil alih Nusantara di bagian Melaka. Dan itu, sudah menjadi celah bagus untuk Londo-Londo rakus itu merangsek masuk ke wilayah kita.”
“Wirabumi?”
“He’ehm.”
“Owhh…”
“Hmmh…berat rasanya jika membayangkan peristiwa pada masa itu. Aku bisa merasakan bagaimana pucat pasinya orang-orang kita saat itu. Apa-apa yang menjadi hak justru dirampas. Tidak hanya hasil bumi, tapi juga tradisi dan kebudayaan dalam hal mendidik generasi, mereka hilangkan. Mereka bilang itu tidak gupermen, kurang maju, tidak pas, kurang apalah. Padahal…”
‘Yahh…itulah Anthi, sahabat terbaikku, bahkan tersayangku’. ‘Hmhhh…’ sungguh berat memang dada Fauz Lin untuk mengenang tentang sahabatnya itu. Jika saja dirinya berani berkata lancang terhadap kedua orang tuanya, ingin dia mengatakan; “Bah, kenapa Anthi tidak turut saja masuk ke IKIP bersama Alin? Setidaknya Alin tidak akan terjauhkan dari Anthi. Abah bisa kan membiayainya?” Tapi itu dirasa sangat tidak mungkin. Fauz Lin paham akan kebijakan ayahnya. Kinanthi hanya orang lain, sewaktu-waktupun akan menjadi orang lain, itu menurut ayahnya. Adapun kebaikannya menyekolahkan Kinanthi sampai Madrasah Aliah di Pesantren tersebut hanya sebatas ucapan terimakasih. Pernah Fauz Lin bertanya pada ibunya seputar kebaikan ayahnya menyekolahkan Kinanthi itu. Kala itu ibunya menjelaskan; “Pak Guntur itu, Nok, orang yang pertama kali mempercayai Abahmu. Beliau seorang pemborong yang sukses. Dari pak Guntur pula Abahmu banyak belajar mengenai pekerjaan. Jadi ya…, sudah sepantasnya saja Abahmu berterimakasih untuk membiayai anaknya bersekolah ketika pak Guntur sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Begitulah Nok Alin, ceritanya…!”
“Pemborong kan banyak uangnya, Umi? Kenapa pak Guntur sampai tidak bisa menyekolahkan anaknya?”
“Hmhh…” “Tidak baik membicarakan permasalahan orang lain. Umi pikir pertanyaan kamu sudah cukup terjawab.”
Hanya sebatas itu Fauz Lin memahami kebijakan ayahnya. Sangat disayangkan seorang Kinanthi yang begitu hebat dalam anggapannya harus mendekam dalam kabut misteri keluarga. Seringkali Fauz Lin ingin mengetahui banyak hal akan permasalahan keluarga sahabatnya itu. Tapi sepertinya waktu belumlah tepat. Salah-salah hal itu membuat sahabatnya tersinggung, dan Fauz Lin tidak mau hal seperti itu terjadi. Pada akhirnya, Fauz Lin hanya bisa menghela nafas pelan, dan sesekali berdoa; “Semoga Allah memuliakan orang-orang yang berilmu seperti kamu, Anthi.”
Disamping Kinanthi, masih ada Akhwan yang selalu mengisi khayalannya. Si pemuda yang sarat dengan teka-teki. Ahh…apa saja sebenarnya yang ada di dalam pikiran si pemuda itu? Sampai saat ini Fauz Lin belum begitu paham akan sikap Akhwan terhadap dirinya. Mungkin ada benarnya kata sebagian penyair; asmara, merupakan sebuah kehidupan yang di dalamnya terdapat lobang kuburan. Seandainya saja kehidupan itu bersemi, tiadalah mungkin dirinya akan terseret ke dalam lobang kuburan tersebut. Tapi di mana musim semi itu akan berkunjung? Jika setiap kali bertemu si pemuda idaman hatinya itu tidak pernah mengerti apa yang tersirat dalam sorotan matanya.
Hmh…lagi-lagi, khayalan itu membuat ulu hati Fauz Lin kembali berdenyut-denyut merasakan luka. Mungkin, ini hanya sebagian prakata dari sebuah cerita cinta yang agung. “Semoga, dengan kepergian diriku dia bisa menyadari. Atau mungkin dia sedikitnya merasa rindu terhadapku. Sedikit saja.” “Itu mungkin…” Harap Fauz Lin dalam hati.

Written by; Adhe Su Herman

Tidak ada komentar: